Saya bukan orang baru di Partai Golkar. Saya mencintai partai ini, tumbuh dalam semangat kolektif yang menjadi ciri khas beringin, dan menyaksikan langsung jatuh bangunnya Golkar dalam berbagai era. Namun hari ini, saya tidak bisa menutup mata: ada kegelisahan yang mengakar kuat di tubuh partai ini. Kegelisahan yang, jika terus dibiarkan, hanya akan membawa kita menjauh dari kejayaan yang telah susah payah dibangun.
Isu Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) bukan sekadar rumor politik. Ini adalah buah dari keresahan yang telah lama kami rasakan. Memang, di permukaan, isu ini terlihat seperti pertarungan pengaruh antara kedekatan Bahlil Lahadalia dengan Presiden Jokowi versus keinginan menjaga harmoni relasi Golkar dan Prabowo Subianto. Tapi sejujurnya, bara ketidakpuasan ini sudah menyala jauh sebelum konstelasi itu mengemuka.
Saya tahu pasti, karena saya ada di dalamnya.
Kepemimpinan Bahlil---sejak awal---tidak menunjukkan arah konsolidasi yang solid. Saya bisa merasakan betul suasana kebatinan kader, terutama di lingkar elite, yang makin jauh dari semangat kolegial yang dulu menjadi roh utama Golkar. Kita yang berada di struktur DPP menyaksikan langsung bagaimana kerapuhan komunikasi internal memunculkan friksi-friksi yang tidak perlu.
Salah satu contoh paling nyata adalah yang terjadi di tubuh AMPI, sayap kepemudaan kita. Tak lama setelah Bahlil memegang kendali, AMPI mengalami pembelahan internal. Faksi yang dekat dengan Ketua Dewan Pembina justru terlihat berseberangan dengan Bahlil sendiri. Dan ini bukan hanya soal beda pendapat---ini soal disharmoni mendasar dalam cara memimpin.
Saya tahu pasti, karena saya menyaksikan konflik itu dengan mata kepala sendiri.
Tak berhenti di AMPI, gejolak juga terjadi di struktur inti partai. Banyak senior partai yang selama ini menjadi pilar kebijaksanaan organisasi tiba-tiba disingkirkan dari kepengurusan dengan alasan regenerasi. Saya tidak anti-regenerasi. Justru saya mendukung penuh upaya menyegarkan kaderisasi. Tapi jika itu dilakukan dengan cara yang menyakitkan, tanpa menghormati kontribusi para senior, maka yang kita korbankan bukan hanya individu---melainkan kestabilan partai itu sendiri.
Hasilnya bisa kita lihat bersama: saat Pilkada 2024, Golkar terseok-seok. Target kemenangan 60 persen yang dulu penuh optimisme, kini justru tampak jauh panggang dari api. Bahkan untuk sekadar menyentuh angka 50 persen kemenangan pun kita gagal. Ini bukan hanya kesalahan teknis lapangan---ini adalah refleksi dari gagalnya konsolidasi dari atas.
Dan terus terang, saya pun mulai melihat Bahlil sebagai beban elektoral. Ini kalimat yang berat untuk saya ucapkan, tetapi harus saya ungkapkan demi masa depan partai. Terlalu sering pernyataan-pernyataan beliau di ruang publik menjadi blunder. Alih-alih memperkuat citra partai, justru membuat kita jadi bahan cibiran.
Jika tren ini terus berlanjut hingga 2029, saya khawatir Golkar akan kehilangan posisi tiga besar di Pemilu mendatang. Dan bagi saya, ini bukan sekadar kerugian politik---ini adalah ancaman eksistensial.
Maka wacana Munaslub, bagi saya, bukan semata-mata soal siapa yang dekat dengan siapa. Ini soal keberanian kita menatap kenyataan. Partai ini tengah berada di persimpangan jalan. Apakah kita akan terus bertahan dengan pola kepemimpinan yang telah terbukti gagal membangun kohesi? Atau kita memilih jalur koreksi besar demi menyelamatkan kejayaan partai?