Dalam mengelola sebuah partai, memperluas akses keterbukaan dan jangkauan terhadap berbagai sektor kekuatan basis massa masyarakat merupakan sebuah hal penting. Karena itu sebuah partai memiliki organisasi sayap, underbow hingga kelompok-kelompok simpatisan di luar fungsi kepartaian.Â
Namun prinsip ini dijalankan berbeda oleh Bahlil Lahadalia selaku Ketua Umum DPP Partai Golkar. Alih-alih melakukan perluasan akses kekuatan basis massa, di bawah kendali Bahlil Lahadalia, Partai Golkar justru dibonsai dengan pemangkasan berbagai lini kepengurusan dan organisasi.Â
Pemangkasan dilakukan mulai dari jumlah pengurus DPP Partai Golkar. Alih-alih memperbanyak personel kepengurusan, Bahlil justru banyak melakukan pemangkasan. Di era Aburizal Bakrie misalnya terdapat lebih dari 200 orang yang masuk dalam kepengurusan. Hal yang sama dilakukan di era Airlangga Hartarto, ada 222 pengurus yang mengawal DPP Partai Golkar periode 2019-2024. Sementara di era Bahlil Lahadalia, hanya ada 150 orang pengurus DPP Partai Golkar.Â
Berbeda dengan bentuk pemerintahan yang perlu ramping sebagai wujud dari reformasi birokrasi, dalam sebuah organisasi mengakomodir berbagai kepentingan merupakan hal yang harus dipenuhi. Bentuk dari mengakomodir kepentingan itu salah satunya adalah dengan memperlebar jangkauan dan akses internal terhadap kepengurusan.Â
Tak hanya pada persoalan kepengurusan, organisasi yang didirikan Partai Golkar seperti IIPG pun diberangus oleh Bahlil. Alasannya karena tak ada dalam PO Organisasi. Padahal IIPG seringkali digunakan oleh para istri kader Partai Golkar untuk melakukan kegiatan sosial. Meskipun karakter organisasi ini bisa digantikan oleh organisasi lain seperti KPPG, tetapi tetap saja, ada jangkauan yang berkurang.Â
Banyak pihak yang merasa tak nyaman dengan kepemimpinan Bahlil yang seperti ini. Atas dalih regenerasi dan memberi tempat kepada kader muda, banyak senior yang disingkirkan dari kepengurusan DPP Partai Golkar. Padahal regenerasi dalam sebuah organisasi adalah keniscayaan. Regenerasi akan terjadi secara alami tanpa adanya sistem potong generasi.Â
Selain itu, kalau di era Airlangga Hartarto rajin melakukan rekrutmen tokoh-tokoh politik untuk mengatrol elektoral Partai Golkar, di era Bahlil Lahadalia justru banyak tokoh dikorbankan. Pada proses pencalonan Airin Rachmi Diany di Pilgub Banten misalnya, alih-alih membela kepentingan Partai Golkar dengan mendukung kader sendiri, Bahlil justru mendukung kader partai lain.Â
Pada prosesnya, Airin beruntung karena ada perubahan UU Pilkada yang dikabulkan MK, sehingga ia bisa mencalonkan diri hanya dari PDIP. Hal ini membuat Partai Golkar merubah sikap politiknya dengan berbalik mendukung Airin. Setelahnya, dukungan itu hanya berupa pernyataan di atas kertas. Nyatanya, Bahlil Lahadalia tak pernah secara konkret mengerahkan kekuatan politik Partai Golkar untuk mendukung Airin.Â
Tak hanya Airin, Jabar pun lepas akibat Partai Golkar mencalonkan Ridwan Kamil di Jakarta. Hasilnya? Ridwan Kamil keok di Jakarta. Padahal elektabilitasnya di Jabar tertinggi kala itu. Jelas ini adalah keputusan yang keliru dari seorang ketua umum. Di beberapa wilayah juga serupa, banyak kader Partai Golkar yang dibuang padahal elektabilitasnya tinggi.Â
Bisa dilihat dari Pilkada 2024 lalu, akibat kebijakan sontoloyo Bahlil, Partai Golkar babak belur dan gagal mencapai target kemenangan 40 persen. Bahlil disinyalir mengedepankan kepentingannya pribadi dengan membarter kekuasaan Partai Golkar di Pilkada dengan mendukung calon-calon dari partai lain. Apakah di tangan pimpinan seperti ini Partai Golkar mau menjalani Pemilu 2029?Â