Siapakah yang paling berperan dalam hidup ini? Laki-laki atau perempuan? Pertanyaan seperti ini sebenarnya tidak layak untuk dipertanyakan sebab laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki peranan yang besar dalam kehidupan. Laki-laki tidak ada tanpa perempuan demikian sebaliknya perempuan tidak ada tanpa laki-laki. Mengapa pertanyaan tentang siapa yang paling penting antara laki-laki atau perempuan sering kali dimunculkan? Ya, budaya atau kulturlah yang mempengaruhinya. Kita dibesarkan dalam budaya patriaki.
Apa itu budaya patriaki? Sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan. Sistem sosial ini telah mendeskreditkan posisi atau peran wanita. Kritik terhadap budaya patriaki adalah munculnya gerakan feminisme yang diprakasai sejak abad ke-18 dan berkembang pesat pada abad ke-20. Gerakan ini muncul sebagai wadah untuk mengampayekan hak-hak perempuan dan memberikan hak yang sama terhadap laki-laki maupun perempuan. Memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki maupun perempuan dalam berbagai hal baik politik, pekerjaan, dan berbagai aspek lainnya.
Memaknai Dan Menghargai Peran WanitaÂ
      Seiring berjalannya waktu, gerakan Feminisme mulai menunjukkan eksitensinya. Hal ini terbukti dengan banyak hal yang dulu tidak pernah disentuh dan dikerjakan oleh wanita dengan alasan wanita lemah dan tidak mampu melakukannya. Kini menjadi berbeda, bahkan dalam berbagai aspek kehidupan jika sudah mendapat sentuhan wanita, kaum pria dibuat keteteran olehnya.
      Hari ini, tepat 21 April kita kembali diingatkan dengan sosok perempuan yang menginspirasi banyak perempuan khususnya di Indonesia. 21 April disebut sebagai hari Kartini. Kartini menjadi tokoh yang memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki di zamannya. Dengan cara yang terkesan sederhana dan terbatas. Tindakan Kartini mampu memberikan inspirasi dan mendobrak tradisi patriaki budaya Jawa.
      Siapakah Kartini dan apa yang dilakukannya sehingga mampu menorehkan sejarah perjuangan perempuan di zamannya?
      Kartini dilahirkan di Jepara pada 21 April  1879 dan meninggal  di kota Rembang pada 17 September 1904. Sebagai seorang yang dilahirkan dari keturunan bangsawan ia mendapat kesempatan untuk mengeyam pendidikan. Ia masuk di sekolah yang bernama Europeesche Lagere School atau di singkat ELS, hingga usia yang ke-12 tahun, karena setelah itu ia harus tinggal di rumah.
      Di rumah ia belajar sendiri dan kerap menulis surat-surat kepada teman-temannya. Ia juga gemar membaca buku-buku, koran dan majalah Eropa. Hal itu membuatnya kagum dengan pemikiran perempuan Eropa sehingga timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi( baca:di daerahnya). Pemikiran ini muncul, karena menurutnya perempuan mendapatkan kedudukan yang rendah, sekalipun anak bangsawan perempuan tetap tidak memiliki kesempatan untuk melakukan banyak hal seperti laki-laki.
      Perhatiannya terhadap kaum perempuan membuatnya bersemangat untuk membaca surat kabar dan berbagai buku. Bahkan ia tidak hanya menulis surat-surat, namun ia juga menulis hal-hal yang dia lihat dan ia pikirkan terkait dengan perempuan. Beberapa literature menyebutkan bahwa perhatian Kartini tidak hanya tertuju pada masalah emansipasi wanita. Namun juga masalah sosial.
      Kartini kemudian dijodohkan dengan bupati Rembang pada 12 November 1903. Suaminya memberikan kebebasan kepada Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Sampai pada akhirnya ia meninggal dunia,  setelah melahirkan anak yang pertama dan terakhir. Tindakan dan buah pikiran dari Kartini di kemudian hari menjadi tonggak yang menancap kuat untuk mengingatkan tentang peran wanita dalam kehidupan.
Menghargai Wanita dalam Tindakan Nyata