Saya sering kali mendapatkan pemandangan ini ketika pagi, saat harus melewati salah satu persimpangan jalan menuju tempat aktivitas bekerja.Â
Pemandangan kurang mengenakan tentang orang-orang yang beradu mulut dan percekcokan antara pengendara motor dengan pengendara mobil, pengendara motor dengan pengendara motor lainnya.
Belum lagi pejalan kaki dengan pengguna kendaraan atau pengguna kendaraan dengan orang yang berinisiatif (bukan petugas lalu lintas) mengatur lalu lalang kendaraan menuju persimpangan jalan tembus jalur utama jantung kota Bandung.
Memanfaatkan jalur alternatif yang padat dan badan jalan yang sempit, orang-orang berlomba adu cepat sampai ke tempat yang mereka tuju masing-masing.Â
Niatnya mengambil jalur alternatif itu untuk menghindar kemacetan di jalur utama jalan raya atau menyingkat jarak dan tidak mau memutar mengikuti jalur normal jalan besar.
Bisa juga inisiatif pengemudi menelusuri jalan tikus karena menghindar bertemu petugas kepolisian lalu lintas yang berjaga, malas menaati aturan pemakaian alat kesehatan seperti masker.
Pada masa Pandemik Covid-19 yang wajib dikenakan saat berkendara atau kendaraan yang ditumpangi sedang bermasalah pajak atau kelayakan jalannya.
Mencermati satu persatu masalah dalam hiruk-pikuk aktivitas berkendera pagi hari itu, rasanya akan menjadi catatan panjang, betapa pelanggaran demi pelanggaran terjadi tiap hari.Â
Energi dan waktu banyak terbuang begitu saja ketika berada dalam antrian kemacetan. Tata karma berkendara serta kepedulian kepada rambu-rambu yang terpampang semacam marka jalan, zebracross, dan lampu pengatur lalu lintas, hilang bersama keegoisan para pengendara.
Menabrak aturan atau larangan berlalu lintas memperlihatkan pamor hukum runtuh saat itu. Sementara sanksi-sanksi yang bakal diperoleh si pelanggar aturan lalulintas tergolong berat, tetapi banyak pihak mengabaikannya.