Saat pertama kali diterima di Program Studi Analisis Kimia Sekolah Vokasi IPB, perasaan saya bercampur antara bangga dan takut. Bangga karena bisa masuk salah satu kampus favorit, tetapi juga takut karena harus menghadapi dunia baru yang belum pernah saya jalani sebelumnya. Beberapa minggu pertama terasa sangat berat. Praktikum datang bertubi-tubi, laporan menumpuk setiap malam, sementara teori di kelas perkuliahan harus segera dipahami. Jujur, saya sempat merasa tidak sanggup. Saya ingat betul satu malam ketika telepon ibu sambil menangis, berkata, "Bu, aku benar-benar tidak kuat. Rasanya salah jurusan. Mental aku jatuh banget." Jawaban ibu sangat sederhana "Ibu percaya kamu bisa. Semua ini proses. Jalani saja sedikit demi sedikit." Kalimat itu terdengar sepele, tapi bagi saya seperti cahaya kecil di tengah kegelapan.
Hari-hari saya selanjutnya tidak otomatis menjadi lebih mudah. Pagi saya harus mengikuti kuliah teori, siang hingga sore praktikum di laboratorium, malam mengerjakan laporan yang harus dikumpulkan esok hari. Kadang saya hanya tidur dua sampai tiga jam. Awalnya saya merasa rutinitas ini kejam. Namun perlahan saya sadar, ada nilai penting di baliknya. Praktikum melatih saya untuk teliti, karena kesalahan sekecil apa pun bisa mengacaukan hasil percobaan. Laporan melatih saya disiplin, konsisten, dan terbiasa berpikir runtut. Begadang memang melelahkan, tapi di situlah saya belajar manajemen waktu dan daya tahan mental. Bisa dibilang, setiap tekanan yang saya hadapi justru menempa saya menjadi pribadi yang lebih kuat.
Satu hal yang membuat saya bisa bertahan bukan hanya karena tekad pribadi, tapi juga karena dukungan orang-orang terdekat. Orang tua selalu menjadi sumber energi terbesar. Meski hanya lewat pesan singkat atau panggilan telepon, doa dan motivasi mereka membuat saya yakin bahwa saya tidak sendiri. Keluarga pun selalu mendukung. Mereka tidak pernah menuntut nilai sempurna, tetapi hanya berharap saya berusaha sebaik mungkin. Sikap itu membuat saya lebih tenang menjalani perkuliahan. Selain itu, teman satu prodi adalah "keluarga kedua". Kami sama-sama merasakan padatnya kuliah, paniknya laporan, dan cemasnya menunggu hasil praktikum. Kami saling bantu, belajar bersama, hingga begadang bareng. Kadang, rasanya lebih mudah menghadapi semua ini karena ada teman seperjuangan. Pengalaman saya ini sejalan dengan hasil penelitian Pratiwi dan Kumalasari (2023) menemukan bahwa dukungan orang tua berhubungan erat dengan resiliensi akademik mahasiswa yaitu kemampuan untuk tetap bertahan meski berada dalam tekanan dan Fan et al. (2024) menegaskan bahwa dukungan teman sebaya dan dosen mampu meningkatkan kepuasan belajar sekaligus memperkuat grit atau ketekunan. Saya merasakannya secara langsung. Tanpa doa orang tua dan solidaritas teman, mungkin saya sudah menyerah sejak semester pertama.
Jika dulu saya sering mengeluh karena lelah, sekarang saya belajar melihatnya sebagai proses pembentukan diri. Praktikum yang dulu terasa menakutkan kini menjadi kesempatan untuk mengasah keterampilan. Laporan yang dulu dianggap beban kini saya anggap sebagai latihan menulis ilmiah. Begadang yang dulu membuat saya kesal, kini menjadi kenangan karena selalu ada teman yang menemani. Bahkan, ketika menjalani magang di industri, saya baru sadar bahwa keterampilan yang saya dapatkan selama kuliah sangat berguna dalam pekerjaan nyata. Transformasi ini membuat saya menyadari satu hal pentingn yaitu rasa tidak sanggup di awal bukanlah tanda gagal, tetapi bagian dari proses tumbuh.
Kini, saya berada di semester 7 dan sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di laboratorium Quality Assurance (QA) salah satu perusahaan industri aki kendaraan. Dunia industri memberi tantangan baru yang berbeda dari kampus. Jika di kampus kesalahan bisa diperbaiki dengan bimbingan dosen, di industri setiap kesalahan bisa berdampak pada mutu produk dan kepercayaan konsumen. Prosedur yang ketat, standar internasional, dan tanggung jawab besar membuat saya kembali merasa tertekan. Namun, saya menyadari bahwa semua keterampilan yang saya latih sejak semester awal mulai dari ketelitian praktikum, kedisiplinan laporan, hingga daya tahan mental menjadi modal utama untuk bertahan di dunia kerja nyata. Penelitian Annisa et al. (2024) menegaskan bahwa resiliensi akademik dapat diukur dan menjadi faktor penting dalam keberhasilan mahasiswa menghadapi berbagai konteks pembelajaran. Hal ini benar-benar saya alami tanpa ketekunan yang dilatih sejak semester awal, saya mungkin kesulitan beradaptasi di laboratorium industri. Selain itu, penelitian yang dilakukan Avargil et al. (2024) menunjukkan bahwa motivasi mahasiswa kimia berkelanjutan ketika mereka mendapat dukungan sosial yang konsisten serta memiliki rasa percaya diri pada bidangnya. Ketika saya berhasil menyelesaikan analisis sesuai standar perusahaan, rasa percaya diri itu tumbuh, dan saya semakin yakin bahwa jalan yang saya tempuh ini benar.
Perjalanan saya di Analisis Kimia bukan hanya soal memahami reaksi kimia, tetapi juga soal memahami diri sendiri. Saya belajar bahwa keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan, melainkan oleh ketekunan untuk terus bertahan, meski awalnya terasa mustahil. Dukungan orang tua, doa keluarga, dan kebersamaan teman-teman menjadi bahan bakar yang membuat saya terus melangkah. Dari situ saya paham, ketekunan lahir bukan karena semua terasa mudah, tetapi justru karena kita berani bertahan di tengah kesulitan. Kini, saya bisa berkata dengan jujur meski dulu hampir menyerah, saya bangga bisa bertahan hingga sejauh ini. Inilah perjalanan ketekunan saya sebagai mahasiswa Analisis Kimia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI