Mohon tunggu...
Teddy Triyadi Nugroho
Teddy Triyadi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - LP3ES/ Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Cogito Aliquid// Menulislah Dengan Rendah Hati Tausosiologi.id

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Mudik Dilarang: Lalu Apa makna Mudik bagi Masyarakat di Tengah Wabah Corona?

30 Maret 2020   17:24 Diperbarui: 30 Maret 2020   18:56 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mudik merupakan fenomena sosial yang rutin setiap tahun terjadi. Mudik di sini di pahami sebagai liburan massal warga kota-kota besar di daerah asal mereka (desa atau kota-kota yang lebih kecil). Kegiatan ini biasanya di lakukan menjelang hari raya Idul Fitri, natal dan tahun baru. Jumlah warga kota yang mudik setiap tahun diperkirakan berkisar sekitar sepuluh hingga enam puluh persen. Hal ini dapat dilihat pada bukti empiris: saat liburan di atas jalan-jalan dan pusat-pusat keramaian kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang dan sebagainya, menjadi relatif sepi. Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa kota-kota besar Indonesia dibangun oleh keberadaan para "pendatang"( Somantri 2001)[1].

Tradisi mudik bukan hanya erat kaitannya dengan perayaan Idul Fitri, melainkan juga erat kaitannya dengan berbagai dimensi kehidupan manusia. Paling tidak ada tiga dimensi yang dapat kita amati dalam tradisi mudik. Pertama, mudik memiliki dimensi spiritualkultural.Mudik dianggap sebagai tradisi warisan yang dimiliki sebagian besar masyarakat Jawa. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Umar Kayam (2002) bahwa tradisi mudik terkait dengan kebiasaaan petani Jawa mengunjungi tanah kelahiran untuk berziarah ke makam para leluhur[2].

Terlebih lagi jika kita tinjau dari aspek sosiologis, fenomena mudik merupakan potret kegagalan konsep pemerataan pembangunan nasional. Konsep desentralisasi pembangunan telah gagal menciptakan pertumbuhan ekonomi yang merata. Desentralisasi yang dimanifestakan dalam bentuk otonomi daerah ternyata gagal mendinamisasi perekonomian daerah. Kantung-kantung pertumbuhan ekonomi tidak terbentuk di desa-desa. Implikasinya, fenomena mudik yang berskala massif dari tahun ke tahun menjadi cermin yang mengindikasikan besarnya arus migrasi dari desa ke kota. Dampak ini tentunya berpotensi melahirkan persoalan-persoalan krusial masyarakat[3].

Namun dengan adanya himbauan tentang larangan untuk mudik yang terjadi akibat wabah virus corona, yang menurut pemerintah  larangan mudik dinilai bisa mencegah virus Corona tidak menyebar dari Jakarta atau kota besar ke daerah lain[4], Hal ini tentunya berdampak kepada fenomena mudik yang setiap tahun sering menghiasi kota Jakarta, apalagi saat berdekatan dengan hari raya. Dalam hal ini terlebih dalam laporan CNN Indonesia  menyatakan jumlah masyarakat yang telah mendaftarkan diri untuk mengikuti program mudik gratis sebanyak 275 ribu orang. Pemerintah sejauh ini menyarankan agar tak ada masyarakat yang melakukan mudik pada Lebaran tahun ini[5]. Dengan begitu berarti masyarakat menengah kebawah akhirnya pasrah dengan keadaan yang terjadi dan tak heran banyak juga yang mengusahakan untuk pulang ke kampong halaman, meskipun dengan kondisi yang sangat  darurat. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Presiden Jokowi "ada 14.000 orang dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang mudik ke kampung halamannya dengan menggunakan bus dalam delapan hari terakhir" [6].

Lalu sebenarnya apa makna mudik bagi masyarakat, mengapa meskipun sudah dihimbau untuk tidak mudik masyarakat masih tetap saja nekat untuk memaksakan dirinya untuk ke kampung halaman. Dalam hal ini, mengenai motif mudik warga kota besar, kita dapat melihat melalui konteks rasionalisasi masyarakat. Di awal integrasi masyarakat Indonesia pada sistem ekonomi kapitalis dunia, di mana tingkat rasionalisasi relatif belum berkembang, mudik mempunyai motif tradisionalistik. Yaitu, warga kota mengisi kembali "ruh" polapola kehidupan tradisional yang terkikis dalam persentuhan dengan modernisasi di kota-kota besar[7]. Tradisi mudik pada dasarnya melekat dengan kesadaran manusia. Kesadaran terhadap asal-usul atau historis manusia. "Sejauh-jauh burung terbang, akhirnya kembali ke sangkarnya". Filosofi tersebut dipakai para migran, baik yang menetap sementara maupun yang benar-benar berdomisili di kota.

Namun di era saat ini kita dapat melihat bahwa motif masyarakat saat ini berkembang ke arah rasionalitas, masyarakat  lebih melihat kepada aspek untung rugi atau dengan kata lain mempertimbangkan aspek jaringan sosial dan ekonomi. Mudik sudah menjadi bagian dari fenomena sosio-kultural masyarakat, tak heran mudik memiliki aspek untung dan rugi, disatu sisi mudik  bertalian dengan reproduksi ekonomi warga kota besar dan sebagai modal sosial (jaringan ekonomi diantara anggota keluarga luas dan kenalan) dapat terpupuk yang kemudian diharapkan dapat menopang produktivitas ketika kembali lagi ke kota, dan disisi lainnya mudik sebagai munculnya masalah sosial masyarakat, yakni ditakutkan akan menyebarnya wabah virus corona yang sudah lebih dari ribuan orang positif terinfeksi corona. Meskipun pemerintah telah menghibau dan membatalkan mudik gratis yang telah direncanakan, namun masih banyak masyarakat yang tetap pergi. 

Dalam hal ini pemerintah harus melakukan intervensi sistemik untuk mengatur mobilitas warga saat ini, disamping dengan psyical distanction sebagai cara memperkecil penyebaran virus, pemerintah juga harus melakukan kebijakan nasional untuk segera mengkaratina wilayah. Hal ini meskipun akan masalah dalam hal ekonomi namun kebijakan tersebut sudah harus diambil oleh pemerintah, karena pada dasarnya kita sedang berlomba dengan virus yang cepat,oleh karena itu kita pun harus memilih alternatif kebijakan dengan cepat pula untuk menyelamatkan manusia lebih besar. Seperti apa yang dikatakan presiden Ghana bahwa"Kita Tahu bagaimana menghidupkan ekonomi namun tidak dengan menghidupkan manusia"

Sumber :

[1]Somantri, G. R. (2007). Kajian Sosiologis Fenomena Mudik. Universitas Indonesia. Hlm 2

[2]Iriyanto, A. M. (2012). Mudik dan keretakan budaya. Humanika, 15(9).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun