Ini hanya diskusi kecil saja. Diskusi tak terstruktur karena berlangsung sepintas dan spontan. Bermula dari bagaimana gigihnya orang Sigli, Pidie,Beureunuen dan komunitas Padang dalam membangun sentra dan kemandirian bisnis, khususnya di beberapa wilayah di Aceh, termasuk Meulaboh.
Diskusi melebar ke Cina yang sudah mendominasi. Bahkan bisa mengatur keputusan pejabat, termasuk mungkin presiden, kata Tengku gampong kami, di sela acara peuseujuk di rumah tetangga.
Kabarnya, di daerah Sigli dan sebagiannnya, tidak sembarangan orang menjual tanahnya ke orang Cina. Bila ada yang jual,mungkin si penjual akan dibully oleh orang sekampung.
Memang diakui bahwa pedagang grosir Medan yang Cina itu lebih disiplin, teratur dan lengkap. Orang kita kesannya cilet cilet aja, sambung kawan di sebelah saya, yang sehari hari berjualan di pekan.
Jadi mulanya, memang Cina membeli tanah kita, atau lahan kita. Itu sudah marak di Aceh Barat- Selatan. Mungkin kita akan sulit menyaingi mereka, kata tengku. Beberapa lahan sawit di Nagan Raya, sudah dimiliki oleh orang Cina, ia pergi-pulang dengan pesawat untuk lihat kebunnya, timpal sahabat yang lain.
Tengku menambahkan, memang pilu hati saat kita lihat orang kita menjadi "budak" di tokonya, padahal ini di kampung kita. Kalau di Medan, orang kita mungkin sudah dijengkali, mereka bahkan bisa meludah di wajah kita untuk perkara yang kecil.
Disamping perihal akses ke tanah dan lahan, sebab Cina dapat menguasai daerah setempat adalah, karena mereka sangat akrab dengan pejabat dan aparat. Bisa jadi, saat pergantian pejabat, justeru mobil Alpardnya yang menjemput di pejabat tadi. Agaknya, bila kita ada perseteruan dengan orang Cina, sangat besar peluang mereka menang di lobby.
Di akhir sesi, sebelum tengku memulai peuseujuk, ia menambahkan, kita mesti memperkuat jaringan antar-kita, karena merekapun begitu, bahkan mereka bisa saja pulang ke negaranya kapan saja. Kita juga mesti mendahulukan orang kita setempat.
Demikian diskusi kecil yang spontan seputar pengaruh Cina dalam kultur politik-ekonomi  kita sekarang, apalagi bila dikaitkan dengan nafas kemerdekaan republik Indonesia, tentu menyisakan banyak pekerjaan sinergis dan komitmen bersama.
Taufik sentana
Peminat kajian sosial-budaya