Kemarin malam, sambil menikmati beberapa potong roti bersalut telur dan teh, di sebuah kedai dekat kantor, saya dan adik saya bertukar banyak cerita tentang pekerjaan dan topik lain sangat menarik --yang lantas menjadi sumber inspirasi saya membuat tulisan ini. Tentang pendidikan anak-anak.
Malam itu, adik saya memang lebih banyak bercerita tentang anak-anaknya, dibandingkan saya. Tetapi, saya pun maklum, itu disebabkan karena anak saya belum akan ada yang mau kuliah pada tahun ini. Anak yang pertama saya masih kelas 3 SMA dan adiknya masih kelas empat SD.
"Jadi, kapan Vyo berangkat?" tanya saya.
"Akhir bulan ini, Mas, tanggal 30."
"UK, ya. Jauh sekali."
"Mengapa tak memilih kuliah di sini?"
"Memang sudah saatnya anak-anak kita memeroleh pendidikan yang lebih baik dari kita, lihatlah, di mana-mana 'sekolah-sekolah elit' diserbu. Vyo sudah lama bercita-cita bisa sekolah di UK. Saya sebagai orang tua cukup memberikan restu saja."
"Persoalan sekolah di luar negeri, menurutku, bukan perkara sederhana, sih. Ini bisa menjadi perkara sangat serius!"
"Bagaimana perasaan ibunya ditinggal pergi anaknya. Mereka selami ini terus bersama, bercerita bersama, dan pergi kemana-mana selalu bersama. Pasti ibunya merasakan sesuatu yang hilang. Itu pasti tidak gampang."
"Belum lagi soal biayanya," aku melanjutkan.
Saya menggeser tempat duduk. Adik saya menghirup rokok putih dan mengepulkan asapnya bergulung-gulung. Entah sudah berapa batang rokok yang dihabiskannya malam itu. Ini memang salah satu kebiasaan buruknya!