Oh, ya, saya bagikan sedikit kisah. Mau, kan? Jadi begini, Vyontia Varella, atau yang kerap saya panggil Vyo, keponakan saya, memang berencana akan terbang meninggalkan Indonesia, akhir bulan tahun ini.Â
Keponakan saya yang perempuan itu akan terbang (sendirian) dari Sukarno Hatta ke Northern Ireland, United Kingdom, untuk kuliah di sana.Â
Vyo mulai bulan depan akan memulai kehidupan barunya - sendirian dan jauh dari ibu dan adiknya. Ibunya, kurasa, juga sama. Sebentar lagi ia akan jauh dari anaknya - yang pernah 18 tahun hidup bersama.
"Jika jadi ia menambah sampai S2, mungkin empat tahun lebih sedikit, mas," kata adik saya ketika kepadanya kutanya berapa lama Vyo akan menamatkan semester terakhirnya. Â
"Jadi, berapa total biayanya?"
"Ini semua demi mimpi mereka!" kata adikku cepat-cepat mengatakan kalimat ini ketika ia melihat saya agak terkejut usai ia menyebut sesuatu angka yang nilainya bisa untuk membeli beberapa mobil baru.
Ah, kawan, dengarlah kalimat itu! Ya, kalimat itu. Itu yang diucapkan adik saya. Saya pernah mendengarkan kalimat luar biasa itu sebelumnya - jauh sebelum malam beberapa hari lalu itu. Tetapi, kali ini, kalimat itu keluar bukan dari orang yang  jauh, tetapi dari keluarga dekat: adik kandung saya.
Itu, sekali lagi, adalah kalimat sangat luar biasa- saya kira. Kalimat itu, jika boleh saya ringkas, adalah serupa dalil, atau alasan, atau kata-kata motivasi, yang paling sulit aku debat. Satu kalimat itu saja sudah cukup mampu melambungkan semangat para orang tua menyekolahkan anak-anak mereka setinggi langit. Biarpun mereka berpisah jarak!
***
Di lift gedung, ketika saya kembali ke ruangan, saya masih memikirkan kalimat itu. Tak sekedar cerita atau kisah telenovela seperti yang saya baca dari koran atau media, tetapi ini adalah kisah dari orang sangat dekat dengan saya.Â
Cerita tentang sekolah elit, atau sekolah internasional, atau sekokah diluar negeri yang mahal itu tampak semakin dibutuhkan oleh para orang-tua; karena sederatan kalimat "Ini semua demi mimpi mereka!"