Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Jokowi-Ma'ruf Terus Berjaya di Survei, Bukti Buzzer Tidak Efektif (Lagi)?

21 Oktober 2018   20:33 Diperbarui: 22 Oktober 2018   12:18 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pasangan Jokowi-Ma'ruf terus berjaya di beberapa survei. Tiga lembaga survey kenamaan, seperti SMRC, CIRUS, dan Charta Politika, beberapa waktu lalu, menyebutkan prediksi mereka, melalui hasil-hasil survei, bahwa Jokowi akan memenangi kontelasi pemilu Presiden 2019.

Yang paling akhir, baru-baru ini, salah satu lembaga survei, Indikator Politik Indonesia (Indikator) juga merilis hasil survei elektabilitas kedua pasangan -yang hasilnya juga tidak jauh berbeda. Elektabilitas pasangan Joko Widodo-Maruf Amin masih tetap unggul atas pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Menurut Indikator Politik Indonesia, Jokowi-Maruf Amin unggul 57,7 persen atas Prabowo-Sandiaga Uno yang hanya meraih 32,3 persen suara.

Melihat, mengamati, menelaah dan menyimak hasil dari banyak survei dari lembaga-lembaga survei kenamaan tersebut, pertanyaan pun muncul: apakah buzzer sudah tidak efektif di Pilpres 2019?

Istilah buzzer secara harfiah dapat diartikan sebagai alat untuk memberikan notifikasi, pengumuman atau mengumumkan sesuatu.

Di dunia sales dan marketing, buzzer dapat dimaknai sebagai aktivitas atau kegiatan memasarkan produk dengan memanfaatkan akun media sosial untuk menyebar-luaskan informasi produk atau jasa perusahaan tertentu. Buzzer akan melempar isu di media sosial, terutama Twitter, secara massif, agar isu bisa diperbincangkan banyak orang.

Meski ruang untuk menulis sangat terbatas, namun Twitter, setidaknya hingga saat ini, masih dinilai sebagai tempat paling "nyaman" untuk bertukar informasi, bercakap, berdiskusi, berdebat dan bahkan bersitegang. Termasuk politik. Jika seseorang memiliki follower sangat banyak, maka ia pun dinilai bukan lagi sekadar pengguna Twitter biasa. Karena alasan folowernya yang banyak itu, ia dinilai memiliki potensi yang tidak dimiliki orang lain dengan follower sedikit. Potensi itu adalah: kemampuan membesarkan isu.  

Peran buzzer di ranah politik itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Dalam banyak kasus dan kejadian, faktanya, peran mereka memang tak bisa dibantah.

Besarnya jumlah pengguna internet di Indonesia (lebih-lebih mereka atau kelompok pengguna dengan kemampuan literasi rendah) merupakan alasan mengapa para politisi kini berlomba mengerahkan logistik politik ke lapak-lapak digital.

Buzzer kerap mendapat peran sebagai penyanggah dan penyerang. Itu memang tugas mereka. Mereka menjadi alat untuk mencari dan menggalang dukungan, menangkal, menjatuhkan atau bahkan menyerang.

Kini, dinding-dinding media sosial dan lapak-lapak digital pun, menjelma menjadi arena "perang". Ruang sempit yang tak sampai 280 karakter kerap dimanfaatkan sebagai cara menciptakan dan memupuk citra. Mereka juga berlomba menjungkalkan sang lawan (politik).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun