"Yah, mau gimana lagi mas."
"Susah mencari kerja jaman sekarang."
"Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan." Â
Aku menggeser kursi kayu. "Jadi? Apa rencanamu setelah ini?"
"Belum ada, mas."
Mendengar itu, saya langsung diam. Beberapa menit. Kopi hitam di atas meja sudah hampir habis isinya. Piring kecil yang tadi berisi panganan juga sudah habis. Saya benar-benar merasa tidak tertarik lagi mendengarkan kalimat-kalimat yang bakal keluar dari mulut Han malam itu. Ingin saya bergegas pulang. Tidur di kamar kosan setelah lelah bekerja lebih dari 12 jam, tentu sangat menyenangkan.
Ingin sekali saya memberinya sedikit "paksaan" agar ia mau bekerja di Pontianak, di proyek milik teman saya yang lain -- seperti yang sudah beberapa kali saya tawarkan kepadanya sebelumnya, tetapi saya gamang malam itu.Â
Saya sangat tahu siapa Han. Jika saya salah memilih kalimat, saya kuatir teman saya itu malah akan mendiamkan saya. Saya pernah didiamkannya gara-gara saya salah mengetik dan mengirimkan kalimat melalui pesan Whatsapp. Han adalah tipe manusia yang gampang sekali tersinggung. Karena menganggur, ia mungkin gampang sekali marah.
Padahal, satu kali saja, ingin sekali saya memberinya kisah-kisah yang "heroik". Tidak banyak. Mungkin hanya satu atau dua kisah kecil saja --dari hampir banyak kisah-kisah "hebat" milik teman-teman saya yang lain atau bisa jadi milik saya sendiri tentang "cara" menjadi seorang pejuang. Tetapi, ya itu tadi masalahnya, saya ragu.
Bagi saya, (maaf) Han adalah salah satu teman saya dengan pribadi yang tidak (begitu) saya sukai. Han gampang sekali marah dan menyalahkan. Ia kerap menuliskan kegeramannya kepada keadaan yang katanya membuat sulit hidupnya. Status-status yang dibuatnya di profil Whatsapp-nya selalu tidak jauh dari marah dan rasa kesalnya.
Saya mengenal Han lebih dari sepuluh tahun. Saya paham siapa Han. Bagi saya, Han itu bukan seorang pejuang.