Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Logika Anies yang Membuat Publik Gagal Paham

15 Januari 2018   12:34 Diperbarui: 16 Januari 2018   10:26 3284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kontroversi proyek reklamasi Teluk Jakarta terus berlanjut. Sejak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berjanji untuk menghentikan proyek itu saat kampanye Pilkada DKI 2017 silam, kisah kontroversinya semakin menarik untuk diikuti.

Berusaha mewujudkan salah satu janjinya, Anies menyurati Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar membatalkan sertifikasi Hak Guna Bangunan terhadap tiga pulau reklamasi Teluk Jakarta.

Surat bernomor 2373/-1.794.2 itu ditandatngani Anies pada tanggal 29 Desember 2017. Dalam surat tersebut, Anies menyebutkan alasan permohonan pembatalan, yakni karena Pemprov DKI tengah melakukan kajian mendalam mengenai kebijakan dan pelaksanaan proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Kejadian selanjutnya mudah ditebak. Surat Anies itu memantik beragam reaksi dan komentar. Publik, tidak peduli apakah mereka awam tentang reklamasi atau pakar, ramai melontarkan komentar. Namun bisa disimpulkan sementara bahwa banyak orang menyayangkan surat Anies itu.

Logika linier gampangan banyak orang akan mengatakan bahwa yang namanya pembatalan harus ditempuh dengan kajian sangat matang dan mungkin akan memakan waktu bertahun-tahun. Prosesnya sangat panjang. Tidak cukup hanya dengan mengatakan "Pemprov DKI Jakarta siap menanggung konsekuensi pembatalan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Pulau D milik PT Kapuk Naga Indah. Pemprov akan mengembalikan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang telah dibayar".

Kata-kata "konsekuensi pembatalan" mempunyai arti sangat luas dan multi tafsir. Tidak ada definisi yang akan menjadi alat kontrol.

Maka, jangan salahkan jika kemudian publik berpendapat bahwa kewajiban Pemprov DKI mestinya bukan hanya mengembalikan dana Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), tapi Pemprov juga harus mengembalikan duit yang sudah dikeluarkan untuk membuat pulau, termasuk untuk membayar tenaga kerja, jutaan jam kerja peralatan-peralatan berat dan cost of money.

Saya masih sangat ingat cerita kekalahan Pertamina (pemerintah) melawan Karaha Bodas Company (KBC) karena pembatalan kontrak secara sepihak. KBC pun akhirnya menuntut Pertamina di pengadilan arbitrase internasional. Dalam keputusannya, arbitrase Swiss memenangkan KBC, dan Pertamina diminta membayar ganti rugi US$ 261 juta. Putusan arbitrase ini diperkuat oleh pengadilan AS.

Lantas, apakah Pemprov DKI juga akan siap membayar semua biaya ganti rugi yang sudah dikeluarkan pengusaha? Diambil dari manakah duit untuk membayar itu semua? Dari APBD? Tidak lebih baik kah apabila APBD dipakai untuk kesejahteran rakyat dan bukan untuk membayar sejumlah denda? Lantas, apakah pulau-pulau itu akan dibiarkan kosong tanpa penghuni?

Publik tidak bisa lekas disalahkan jika mereka mempunyai pertanyaan dan berpendapat seperti di atas.

Kontroversi proyek reklamasi Teluk Jakarta pasti akan terus berlanjut menjelang 2019 dan akan menguras banyak tenaga. Lihatlah komentar-komentar warganet di media sosial. Beberapa pakar Hukum Agraria juga mempertanyakan sikap Pemprov DKI Jakarta yang dianggap labil karena sebelumnya telah mengeluarkan surat Hak Pengelolaan (HPL) untuk pulau-pulau tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun