"Menurut abang, mengapa harus ada hiruk pikuk di Golkar?" Temanku bertanya.
Langit makin mendung. Kopi di depan kami juga sudah habis tinggal ampas. Di kedai kopi murahan, kami berdua -- teman kosan dan saya-- masih asyik berbincang soal hiruk pikuk politik terkini. Sampai akhirnya, topik diskusi kami menyinggung soal ribut-ribut partai Golkar.
"Penyebab Golkar ribut adalah soal kepentingan bisa menguasai partai ini"
Aku melanjutkan analisaku ...
Undang-undang pemilu yang mengadopsi Presidensial Threshold, meskipun sebelumnya banyak diributkan orang, akhirnya disahkan. Efek undang-undang ini sangat luar biasa. Hanya partai tertentu dengan minimal  20 persen perolehan kursi dari pemilu 2014 lah yang bisa mengusung calon presiden.
"Jelas. Mengusung calon presiden bukan lah pekerjaan ringan."
Bahkan, PDIP yang memeroleh kursi 19 persen di DPR pun belum mampu mengusung sendiri calon presiden. Tetapi ibarat kendaraan, dengan 19 persen kursi di DPR, PDIP tak ubahnya seperti mobil SUV. Dengan tenaga besar dan bodi kekar, ia hanya perlu sedikit tambahan tenaga untuk bisa memikul beban berat itu (mengusung calon presiden).
Nah! Setelah PDIP, ada partai Golkar. Ibarat kendaraan, dengan menguasai 14 persen kursi di DPR, Golkar dapat diibaratkan sebuah MPV besar. Karena PDIP sudah jelas-jelas mengusung Jokowi kembali, maka praktis hanya Golkar lah satu-satunya kendaraan paling seksi untuk mengusung calon lain selain Jokowi.
Para elit yang menginginkan calon selain Jokowi, merasa sangat berkepentingan untuk bisa menguasai partai Golkar.
"Bagaimana dengan partai-partai lain yang berpotensi bergabung?" temanku bertanya lagi.
"Dengan disahkannya UU pemilu yang mengadopsi Presidensial Threshold 20-25 Persen, maka, partai-partai lain tampak seperti kendaraan kecil. Butuh tiga atau empat kendaraan untuk bisa menarik bersama-sama beban berat itu. Padahal, membuat deal-deal politik bukanlah pekerjaan mudah."