Upacara peringatan 17 Agustus itu baru saja usai. Tidak ada lagi lomba panjat pinang, tarik tambang dan bakiak. Keseruan itu akan datang kembali setahun yang akan datang..
Ada beragam pandangan dari banyak orang tentang makna peringatan ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang baru saja berlalu itu. Mereka berbicara tentang nasionalisme, tentang semangat menjaga Indonesia, dan tentang cita-cita agung bangsa yang terpatri kuat di setiap helai bulu sayap burung Garuda. Umumnya, pandangan-pandangan itu diketik begitu rapi dan dimuat di halaman-halaman utama media cetak. Â
Ada satu lagi.. Â bahwa makna-makna kemerdekaan itu sekarang juga kerap divisualkan dengan sangat apik di layar televisi, dengan background musik yang bisa menggetarkan. Setiap orang yang menonton dan mendengarkan lagu kebangsaan itu, apalagi untuk orang-orang yang sedang mengais dollar di luar negeri, pasti merasakan semangat nasionalisme itu begitu menggelora. Saya pernah merasakan seperti itu. Kangen ingin segera pulang dan menginjakkan kaki kembali di tanah kelahiran.
Tanah air ku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh ....
Kesimpulannya adalah bahwa peringatan kemerdekaan itu meninggalkan makna dan kesan yang begitu dalam bagi banyak orang.
Namun... apakah peringatan kemerdekaan itu juga meninggalkaan kesan dan makna yang sama untuk orang-orang pinggiran atau orang-orang tidak akrab dengan mall, hape dan status di medsos? Apakah mereka juga mempunyai kesan yang sama seperti kesan dari orang-orang yang sedang berjalan-jalan dan kemudian dicegat dan diwawancarai oleh reporter cantik sementara teman laki-lakinya berada di belakang dan menggotong kamera?
Jawaban yang saya dapatkan ternyata tidak......
Beberapa hari lalu, saya bertemu seorang Bapak tua penjual sandal keliling, saat kami bersama-sama sedang menonton lomba panjat pinang di daerah Ciracas Jakarta Timur. "Apa ya Nak? ... Saya tidak tahu ..." jawab bapak itu ketika aku tanya apa makna peringatan kemerdekaan. Pakaiannya lusuh, wajahnya kelelahan dan berwarna gelap. Aku mengira, mungkin Bapak itu terlalu lama menghabiskan hidup di jalanan menjajakan sandalnya.
"Rumah Bapak jauh dari sini?" tanyaku.