Artikel 2
Praktik Kebijakan Fiskal di Indonesia: Dari Orde Lama hingga Reformasi
Kalau di artikel pertama kita membahas teori dan instrumen kebijakan fiskal, kali ini kita turunkan pembahasan ke bumi: bagaimana praktik kebijakan fiskal dijalankan di Indonesia. Sebab belajar teori tanpa melihat kenyataan ibarat belajar berenang hanya dengan membaca buku---kita tahu konsepnya, tapi tidak tahu rasanya kalau kaki menyentuh air.
Indonesia, dengan sejarah politik dan ekonominya yang penuh dinamika, memberikan banyak contoh menarik. Dari inflasi gila-gilaan di era Orde Lama, disiplin fiskal ketat di Orde Baru, hingga keterbukaan dan reformasi pasca-1998, kebijakan fiskal kita seperti cermin perjalanan bangsa. Mari kita telusuri satu per satu.
Orde Lama: Antara Ambisi dan Inflasi
Pada masa Presiden Soekarno, terutama setelah Dekrit Presiden 1959, orientasi kebijakan ekonomi lebih banyak pada politik. Soekarno mendorong pembangunan besar-besaran dengan jargon "Berdikari" (berdiri di atas kaki sendiri).
Masalahnya, penerimaan negara tidak sebanding dengan belanja. Pemerintah mencetak uang untuk menutup defisit. Hasilnya adalah inflasi yang luar biasa tinggi, bahkan pernah mencapai lebih dari 600% pada pertengahan 1960-an.
Bagi mahasiswa, ini contoh klasik bahwa kebijakan fiskal tidak bisa dilepaskan dari disiplin moneter. Cetak uang sembarangan mungkin terasa mudah, tapi konsekuensinya rakyat kecil yang paling menderita karena harga kebutuhan pokok melambung.
Orde Baru: Disiplin Fiskal dan 3% Defisit
Setelah kejatuhan Orde Lama, Soeharto mengambil pendekatan berbeda. Bersama tim ekonomi yang dikenal sebagai "Mafia Berkeley", Orde Baru menerapkan disiplin fiskal ketat.