Sistem Penjurian: Antara Seni dan Ilmu
Bagaimana cara menilai? Ini pertanyaan yang selalu menggelitik bagi mereka yang belum pernah menyaksikan kontes perkutut. Ternyata, sistemnya cukup unik.
Di bawah tiang-tiang tinggi itu, para juri berdiri sambil mengamati dengan saksama. Mereka menilai berdasarkan kriteria baku: irama suara, ketepatan nada, panjang getaran (cengkok), dan kestabilan. Setiap kali seekor burung mengeluarkan suara yang memenuhi kriteria, petugas dengan tongkat panjang dan bendera kecil akan menancapkan bendera itu di bawah tiang.
Dari kejauhan terdengar suara penonton berteriak:
"Nomor 347! Nomor 318! Nomor dua!"
Itu bukan undian arisan, tapi nomor peserta yang burungnya baru saja mendapat nilai. Semakin banyak bendera, semakin besar peluang menang. Akhirnya, pemenang ditentukan berdasarkan akumulasi penilaian suara selama durasi tertentu, saya tidak tahu apakah satu jam atau periode waktu lainnya.
Atmosfernya penuh ketegangan. Ada yang gembira saat benderanya bertambah, ada yang menghela napas panjang ketika burungnya enggan bersuara. Bahkan ada pemilik yang terlihat seperti sedang berdoa, seolah nasib burung adalah nasib keluarga besarnya.
Gengsi dan Filosofi
Mengapa orang rela datang jauh-jauh, membawa burung, menyewa penginapan, bahkan menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk lomba ini? Jawabannya ada pada gengsi. Menang di Piala Raja bukan hanya soal hadiah, tapi pengakuan tertinggi di kalangan pecinta perkutut Nusantara.
Nama pemenang akan dikenang, burungnya bisa bernilai ratusan juta, bahkan miliaran. Bagi sebagian orang Jawa ini bukan soal uang semata, tapi martabat. Sama halnya dengan bagaimana keris atau batik menjadi lambang kehormatan.
Namun, di balik semua itu, ada filosofi yang menarik. Burung perkutut melambangkan kesabaran, ketenangan, dan harmoni. Ia tidak berteriak nyaring seperti murai batu, tidak agresif seperti ayam jago. Suaranya halus, mengalun, seperti pesan hidup orang Jawa: alon-alon waton kelakon -- pelan-pelan asal tercapai.
Sebuah Tradisi yang Terus Hidup
Menjelang siang , matahari kian tinggi. Alun-alun sudah agak sepi. Tiang-tiang masih ada tapi sangkar-sangkar burung sudah tidak ada. Besok pagi perlombaan akan dilanjut.
Jogja memang tak pernah kehabisan cara untuk merayakan tradisi. Dari Grebeg Maulid, Sekaten, hingga Piala Raja. Semua punya satu benang merah: menjaga warisan leluhur sambil menyesuaikannya dengan zaman. Bahkan ketika sponsor pakan burung dengan tagline modern ikut meramaikan, nilai budaya tetap menjadi pusat perhatian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI