"Hier Rust, Ernestine Geertruida Mijer, diep betreurde echtgenoote van J.H. H. Van Raders."
Disini beristirahat Ernestine Geertruida Mijer, istri J.H.H. Van Raders yang sangat disayangi.
Nisan ini juga lengkap dengan tanggal lahir, tanggal kematian dan kutipan ayat dari Injil Matheus.
Di sekelilingnya juga tampak makam lain yang mungkin ikut terdampak, meski tidak separah ini. Walau Batang pohon yang menimpa sudah dipotong dan disingkirkan, tapi puing bata dan kerusakan pada beberapa nisan belum sempat diperbaiki. Masih banyak nisan yang berserakan begitu saja.
Pandangan saya tertumbuk pada satu makam megah dengan nisan marmer besar bertuliskan nama: Elisabeth Charlotte Vincent, istri dari Jan Jacob Rochussen. Buat yang suka sejarah kolonial, nama Rochussen pasti familiar---dia adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1845--1851.
Tertulis di nisannya (dalam bahasa Belanda):
Hier ligt begraven Elisabeth Charlotte Vincent
Echtgenoot van Jan Jacob Rochussen
Zij stierf den 14 Augustus 1851...
"Di sini dimakamkan Elisabeth Charlotte Vincent, istri dari Jan Jacob Rochussen. Ia wafat pada 14 Agustus 1851..."
Lalu lanjut dengan kisah tragis: ia meninggal akibat komplikasi pasca persalinan. Anak perempuan yang dilahirkan juga wafat saat lahir, dan keduanya dimakamkan bersama. Sebuah kisah sedih dari masa lalu yang tertinggal abadi dalam marmer di tengah Kebun Raya yang rimbun ini.
Menariknya, di depan makamnya juga ada potongan nisan terpisah yang menyebut nama seorang perwira laut --- tampaknya bagian dari kompleks makam keluarga atau memorial untuk kerabat. Tulisan di bagian bawahnya berbunyi:
Overl te Batavia den 11 Februarij 1851
Ini menyebut kematian di Batavia pada 11 Februari 1851. Apakah ini suami Elisabeth sebelumnya, atau anggota keluarga lain, belum jelas. Tapi keberadaan dua nisan berdekatan ini menambah lapisan misteri. Atau hanya potongan nisan kedua yang diletakan di dekat nisan marmer megah ini?
Yang bikin tempat ini terasa hidup adalah kontrasnya: antara sejarah yang diam dalam nisan dan pohon-pohon tropis yang terus tumbuh --- kadang malah tumbang, seperti kejadian baru baru ini.
Tak jauh dari situ, tergeletak di tanah, saya menemukan nisan yang sedikit retak milik Margaretha Catharina Elizabeth Pahud, meninggal muda di tahun 1860. Kalimat terakhir di nisannya berbunyi:
"Gij hebt mij door dood maar ik zal u wederzien"
(Kau ambil aku lewat maut, tapi aku akan melihatmu kembali)
Nama "Pahud" kemungkinan merujuk pada keluarga pejabat tinggi Hindia Belanda. Bisa jadi dia masih kerabat dari Charles Ferdinand Pahud, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1856--1861. Tapi di sinilah ironi muncul: di balik nama besar, ada hidup pendek yang disimpan senyap oleh tanah dan batu.
Di sebelahnya juga tergeletak saja di atas tanah ada sebuah nisan yang terlihat sangat tua dan berlumut.
Sekilas, ini nisan tua banget! Dari bentuk dan hurufnya, jelas ini peninggalan akhir abad ke-18.
Tulisannya hampir terhapus oleh usia, tapi saya coba baca perlahan:
"Di sini bersemayam Cornelis Potmans, administrator apotek (Medicinale Winkel) pada Dewan Tetap..."
Baris berikutnya sulit dibaca, tapi terlihat jelas bahwa ia lahir di Middelburg (kota di Belanda), dan wafat di Batavia. Di baris paling bawah tertulis tahun kematian: 1784, artinya ini adalah salah satu makam paling tua di kompleks ini.
Menariknya, Cornelis bukan tentara atau pejabat tinggi seperti kebanyakan penghuni makam Eropa di sini. Ia adalah seorang apoteker --- bagian dari struktur kesehatan VOC, yang saat itu mengatur sistem medis untuk orang Eropa dan pegawai perusahaan di Hindia Timur.
Berbeda dengan marmer putih yang mencolok, batu Cornelis Potmans nyaris menyatu dengan tanah dan dedaunan. Tapi justru itu yang membuatnya mencolok: batu tua ini menyimpan jejak masa di mana apotek bukan sekadar toko obat, tapi lembaga resmi milik kompeni.
Sekarang kita punya tiga generasi cerita: pertama, Cornelis Potmans (1784) --- Apoteker zaman VOC, meninggal di Batavia.
Kedua, Margaretha Pahud (1860) --- Wanita muda dari keluarga elite kolonial, dan terakhir, Elisabeth Vincent (1851) --- Istri Gubernur Jenderal, wafat karena komplikasi melahirkan.
Tiga nisan. Tiga zaman. Tiga kisah dalam satu halaman sejarah --- tersembunyi di balik rimbunnya Kebun Raya Bogor dan kadang terungkap hanya karena tumbangnya pohon raksasa.