Oleh : Taufik Hidayat
Senin 21 Desember 2020, buku istimewa itu datang ke rumahku. Buku itu istimewa karena memuat kisah perjalanan cinta dari dua cahaya di dalamnya. “Dua cahaya” yang ternyata memang patut jadi idola kita semua.
Ya, buku “Cinta Dua Cahaya” karya Ibu Ida Nurlaela memang istimewa, sayangnya aku sempat salah persepsi tentangnya. Awalnya aku menduga buku itu adalah Novel, bukan kisah kehidupan penuh cinta Ibu Ida bersama Pak Cah. Awalnya aku menduga buku ini biasa saja, istimewa hanya karena pengarangnya. Makanya aku sempat sama sekali tidak kepingin memilikinya.
Puji syukur ya Allah atas karunia-Mu, sehingga hamba bisa memiliki buku istimewa itu secara istimewa pula. Istimewa karena aku mendapatkan buku ini sebagai hadiah dari Ibu Ida atas terpilihnya aku sebagai salah satu pemenang Challengge CDC beberapa waktu yang lalu. Terima kasih Ibu Ida atas kiriman buku istimewanya, sekaligus aku ingin menyampaikan permohonan maaf juga.
Kok minta maaf?
Ya, yang pertama karena aku tidak cepat memberi kabar bahwa buku CDC itu sudah sampai ke tanganku. Tanggal 21 diterima, baru hari ini aku berkabar lewat tulisan ini. Maafkan kesengajaanku yang baru mau berkabar lewat artikel, karena aku ingin menyampaikan tanda terima kasihku secara berbeda, yang bagiku, insya Allah, akan lebih bermakna.
Yang kedua, aku minta maaf karena sempat salah persepsi tentang buku itu. Seperti sedikit kusinggung di atas, buku CDC kukira hanyalah buku novel biasa, istimewa hanya karena pengarangnya orang istimewa. Hanya karena kepiawaian pengarangnya mengolah kata, maka buku itu menjadi istimewa, padahal kalau ditulis oleh orang lain mungkin biasa-biasa saja.
Ternyata aku salah besar.
Ya, buku itu memang istimewa karena pengarangnya. Namun, lebih istimewa lagi karena isinya memang istimewa, tentang perjalanan penuh lika-liku kehidupan sepasang kekasih yang luar biasa. Sepasang kekasih itu tidak lain dan tidak bukan adalah Ibu Ida Nurlaela dan Pak Cahyadi Takariwan sendiri.
Yang ketiga, aku minta maaf karena sempat berkesimpulan yang salah tentang perkawinan Pak Cah dan Ibu Ida. Sebelum membaca buku ini aku berangggapan bahwa Pak Cah dan Ibu Ida adalah dua orang aktivis yang sempat melupakan tentang perkawinan, sebagaimana umumnya para aktivis.
Kesimpulan itu lahir setelah aku melihat tulisan Pak Cah disertai foto beliau berdua dengan lelaki remaja yang merupakan anak beliau jalan-jalan melihat penerbitan, ditambah tulisan Ibu Ida tentang Misis Senja yang dikatakan sebagai calon mantu idaman, sayangnya anak lelaki beliau masih berusia 15 tahun.