Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Waspada Akan Potensi Menjadi "Syajarah Khabitsah"

31 Mei 2021   16:56 Diperbarui: 31 Mei 2021   17:29 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang dan malam akan selalu bergantian mengisi hari. Pengalaman baik atau buruk akan menjadi bagian dari hari-hari yang tidak bisa dihindari. Bahkan, benar dan salah menjadi sesuatu yang sebenarnya tak bisa kita memilihnya karena hal tersebut bukanlah pilihan, sekalipun kita kemas segala ilmu hingga nampak diri kita bermahkota emas. Tidak ada jaminan yang bisa dipegang, untuk menembus segala ruang dan waktu.

Bagaimana dengan qanaah atau sifat merasa cukup? Bukankah dengan sifat tersebut, kita tidak akan mudah terombang-ambing oleh arus kehidupan yang gelombangnya kian hari semakin bertambah kuat? Ketika gelombang kuat itu menyapa, pilihan kita tinggal berjuang atau tenggelam. Tidak ada opsi untuk selamat dari keadaan di saat gelombang kuat itu menyapa. Kita hanya bisa berupaya dan memohon, agar diberi keselamatan. Agar Tuhan berkenan untuk menyudahi gemuruh langit yang tampak muram kelabu dengan riuh badai yang dibawanya, menerjang apapun.

Apa diri sanggup memastikan badai akan segera usai? Apakah diri bisa memastikan bahwa di setiap perjuangan akan selalu terbayarkan dengan keselamatan hidup?

Tidak sadar kita selalu dipertemukan dengan suara ataupun kalimat-kalimat bijak yang seketika menjadi pencerah atau kinci untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Apakah kunci tersebut dapat dipastikan sebagai sebuah kepastian yang menunjukkan penyelesaian sebuah masalah? Ataukah kunci tersebut hanyalah alat? Karena segala sesuatunya tetap bergantung pada diri sendiri dalam memanfaatkan kunci yang mungkin saja ditemukan.

Di antara banyak kunci penyelesaian sebuah permasalahan, mayoritas wujudnya selain materi adalah kata-kata. Entah itu kata-kata motvasi ataupun bijak yang bisa berbentuk ujaran, saran atau nasihat, pun retorika yang banyak menggunakan kiasan ataupun analogi dalam penyampaiannya. Dan benar saja, teknologi menjadikan manusia mampu membangun ekspertasi dirinya dalam mempermainkan kata-kata. Selaras dengan kemudahan ilmu yang didapat melalui perkembangan teknologi.

Namun, seolah semua itu sudah menjadi peringatan sejak zaman dahulu kala. "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan menarik hatimu." (2:204)

Orang-orang banyak menggunakan senjata kata-kata sebagai pemanis bujuk rayunya terhadap orang lain. Tidak hanya dalam bab percintaan, melainkan kata-kata seringkali digunakan untuk mempengaruhi orang lain, menundukkan, bahkan bisa pula kata-kata itu menghipnotis bawah sadar orang lain.

Maka dari itu, jangan  mudah terpesona oleh kata-kata. Nabi Saw dalam ayat tadi diingatkan agar berhati-hati terhadap orang yang hanya pandai mengucapkan kata-kata, akan tetapi isi hatinya dan perilakunya sangat kontras. Dan hal tersebut pada akhirnya sering kita istilahkan sebagai orang yang bermuka dua. Orang tipikal seperti ini akan sangat mudah bersumpah dengan nama Allah dan mengaku-aku sebagai pendukung Nabi Saw, padahal dia adalah penentang yang paling nyata.

Oleh karena itu, kita mesti meningkatkan kewaspadaan diri kita tidak hanya dari melihat ataupun mendengar, pun juga ketika mengucapkan kata-kata. Kata-kata bisa jadi berupa janji terhadap diri sendiri. Meskipun tidak ada yang melihatnya dan mengingatnya, tapi akan selalu ada yang mencatatnya. Kalau dipersenkan dalam sehari, manakah yang lebih banyak kita lakukan antara melihat, mendengar, dan mengatakan sesuatu? Jadikan hal seperti ini sebagai latihan muhasabah terhadap diri. Jangan sampai kita menjadi seperti pohon buruk yang tidak berguna (dalam Al-Qur'an menurut tafsir Al-Manhal disebut sebagai syajarah khabitsah).

Jangan pohon yang selalu mencari berkah cahaya, sehingga tumbuh secara sunatullah selalu mengikuti arah sumber cahaya, namun berlaku tidak sebagai sebagaimana pohon itu (kita) diciptakan. Mungkin semuanya tercipta tanpa ada yang sia-sia dan mampu diambil hikmah ataupun sisi kebaikan-kebaikannya. Namun setidaknya dengan mempercepat kesadaran tersebut, kita tidak berlama-lama berkutat menjadi orang yang lalai.

***

31 Mei 2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun