Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menciptakan "Kejahatan"

11 Februari 2021   16:48 Diperbarui: 11 Februari 2021   16:51 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang yang lapar tidak perlu diberi pengetahuan agar lekas segera memakan sesuatu. Apabila diberi tahu, hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai melaksanakan sebuah perintah. Akan tetapi, apabila ia lekas segera memakan sesuatu, itu bisa dinamakan sebagai sebuah perbuatan yang baik. Begitupun sebaliknya, seseorang tidak bisa melarang perintah yang tidak baik apabila bertentangan dengan hasrat yang akan diberi perintah.

Kalau dalam konteks Selasan sebagai ruang wirid dan sholawat, hal kebersamaan bukanlah wujud dari sebuah perintah baik dan buruk, karena dulur-dulur yang diperjalankan berkumpul bukan atas sebuah perintah baik ataupun menentang perintah yang tidak baik. Melainkan, dulur-dulur datang atas hasrat dirinya masing-masing. Seperti halnya Selasan yang telah mewujud hingga putaran ke-62 ini di tempat Mas Eko atau Panti Darus Sunduus, Borobudur, bisa ditanyakan kepada masing-masing yang datang, apakah mereka ke Selasan karena sebuah perintah?

Mengehendaki keberadaan jiwa seperti itu bukanlah suatu perkara yang mudah. Terlebih jika kita masih banyak mengarahkan hasrat diri untuk diajak hanya ke dalam kebaikan. Kita bukanlah malaikat yang hanya bisa taat, akan tetapi kita merupakan manusia yang memiliki banyak potensi untuk ingkar. Tidak mungkin manusia mengerti atau memahami kebaikan tanpa diberikan pengetahuan tentang berbagai keburukan.

Oleh karena itu, diperlukan pula keterseimbangan akan kebaikan, dengan menumbuhkan hasrat jiwa di sisi sebaliknya. Seolah-olah kita menghendaki kejahatan, tapi tak lain hal tersebut merupakan sebuah kewaspadaan. Terlebih kita semua mengetahui bahwa Tidak senang dengan kejahatan. Apabila demikian yang terjadi, tentu Tuhan enggan memerintahkan kebaikan.

Kebersamaan dalam ruang seperti Selasan di Maneges Qudroh, bisa jadi sebagai ruang untuk melatih jiwa untuk lebih peka terhadap hasrat diri yang memuncak. Karena kita berada dalam ruang kolektif yang pasti menuntut diri untuk interaktif sebagai konsekuensi atas kehadiran diri. Kita bisa banyak berkaca bahwa begitu dinamis dan masih pasang-surutnya iman dan taqwa kita masing-masing.

Dan kualitas iman yang tebangun akan bergantung pada bagaimana kita bisa menaklukkan hasrat-hasrat kejahatan yang selalu menghampiri jiwa. Ya, rumah itu suatu saat akan kokoh apabila sudah mengalami banyak perbaikan. Bahkan ia akan membesar, sering dengan daya tampung yang bergejolak dalam diri. Bahkan, Tuhan memercikan kejahatan sekalipun bukan tanpa alasan. Menciptakan iblis yang tunduk terhadap-Nya pun tidak untuk berbuat baik.

Adakah syukur itu bertambah tanpa adanya saling prasangka dalam kebersamaan? Adakah kepedulian itu bertambah tanpa terciptanya rasa diacuhkan atau terasing? Kita hanya sering terjebak dalam suasana subjektivitas seolah-olah tidak ada peran Tuhan atas segala hal yang terjadi. Terkadang kita hanya kurang teliti dalam menghitung sehingga yang nampak selalu saja ketidakselarasan.

"Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (2:179) Andaikan tidak tercipta kejahatan-kejahatan diri itu, apakah mungkin kedamaian akan selalu tercipta? Ibarat seorang dokter yang ingin orang sakit datang kepada dirinya supaya bisa menunjukkan teknik penyembuhannya, tapi apakah dokter itu selalu menghendaki orang agar sakit? Kecuali dia sudah pasti tidak akan senang jika orang tetap sakit, sebab hal itu akan menandakan bahwa ia tidak berhasil dan harus menghentikan upaya penyembuhannya.

Tentu kejahatan itu mengerikan jika ditujukan untuk kejahatan itu sendiri. Namun dalam Qudroh-Nya, kita tidak bisa memastikan bahwa kebaikan sudah pasti baik, atau keburukan sudah pasti buruk. Karena kita memiliki limitasi sebagai manusia. Kita hanya perlu memiliki banyak sudut pandangan agar nantinya lebih obyektif dalam memandang suatu hal.

Di sisi lain, kejahatan itu tidak dapat dihilangkan. Oleh karena itu selalu ada penghukuman dan pengampunan. Karena Tuhan sendiri Sang Maha Pengampun. Dia selalu memerintahkan kita untuk berdamai, tapi bukankah perintah untuk berdamai tidak memiliki arti tanpa adanya permusuhan?

Panti Darus Sunduus, 9 Februari 2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun