Sedangkan, dari sekian banyak jumlah tersebut, bisakah kita menemukan satu dasar, akal, atau sumber dari semua itu? Bukankah pada akhirnya kita hanya sibuk berselisih dan banyak menyia-nyiakan waktu?
Tapi, itulah jalan yang mesti dilalui jikalau ingin mencapai penyatuan. Naluri manusia selalu mengajak untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan.Â
Lalu, bagaimana mereka akan beranjak dewasa pemikirannya? Bagaimana akan memperluas cakrawala pandangnya? Bagaimana akan menemukan kedalaman batinnya? Jika mereka enggan diperkenalkan dengan perselisihan-perselisihan yang satu diantaranya akan menghujam kuat menembus hati yang terdalam.
Disana akan ada batas yang memperkenalkan berbagai macam bayang-bayang kata yang mewujud menjadi prasangka. Ketika disana engkau bertemu sunyi yang menyekap dirimu, disaat sangka mengikat gerakmu dan mengatakan bahwa engkau sendirian.Â
Di saat itu pula, perlu engkau ketahui bahwa engkau hanya butuh sedikit menolehkan pandanganmu kebelakang. Karena akan selalu ada kesetiaan yang mengikutimu.
Aku akan bersembunyi dalam bayang kata-kata. Aku hanya kenyataan yang ditiadakan oleh bayang-bayang yang tercipta. Namun, aku tidak ingin engkau mengenalku.Â
Sekalipun berulang kali kau tak hiraukan ketulusan yang menyapa, hal itu bukan menjadi alasan buatku untuk berhenti melangkah. Karena bukan aku yang menumbuhkan rasa, bukan aku yang menciptakan asih, bukan aku yang mengendalikan segala permainan ini. Dan aku setia kepada-Nya, bukan kepadamu.
Dunia ini hanyalah buih, sedang pengetahuan itu layaknya lautan. Dan cinta sejati itu layaknya mutiara yang jauh tersembunyi di dalamnya. Ketika kamu puas dengan secangkir air lautan, bagaimana kamu akan menemukannya?
Kita sudah banyak dipertemukan dalam kenyataan, menembus segala bayangan kata yang menyembunyikan segala realitas. Kita sudah saling tarik-menarik dalam beribu bisu. Kita saling membahagiakan dalam setiap kehadiran. Apakah itu sudah cukup menjadikan kita satu dalam keabadian?