Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Niteni dan Serius terhadap Segala Pilihan

8 Mei 2020   15:40 Diperbarui: 8 Mei 2020   15:52 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: unsplash

Menang mendapat kehinaan, sedangkan kalah semakin mendapati kehancuran. Sedangkan kemenangan sudah terlanjur menjadi jalan hidup yang harus dan pasti bisa diraih, sehingga kurang bisa menikmati keadaan ketika situasi berbalik menjadi kekalahan. Apa ada jaminan bahwa hidup itu selalu menang diantara puluhan bahkan ratusan pilihan yang hadir setiap hari?

Terlebih jika kita terbiasa niteni pilihan-pilihan tersebut, lebih banyak mana antara keputusan objektif dan subjektif? Antara selfish atau altruis? Antara rentang waktu now sekarang, agak sakuntoro, intermediate, atau future, masa depan, ghaib? 

Belum lagi di tiap keputusan itu akan berefek pada kemashlahatan diri atau kemashlahatan keluarga bahkan ummat? Adakah kita bisa mutlak menang ataupun kalah di mata pandang seluruh manusia? Kalaupun memang sudah ampuh banget dan sanggup menyanggupi, adakah pilihan yang dibuat itu disepakati oleh segala penduduk jagad semesta, terutama oleh para penduduk langit?

Jadi, kenapa kita sangat hobi memaksakan kebenaran, melemparkan sebuah informasi yang dianggapnya benar, bahkan yang menerimanya harus mentaati dan mematuhi segala informasi yang telah didapatnya. 

Jika kamu berbeda, kamu akan dikucilkan, diasingkan, ataupun dibuang oleh mayoritas segala manusia yang mematuhinya. Kamu akan dianggap racun yang esok lagi apapun perkataanmu sudah tidak menjadi berbobot atau penting, bahkan untuk sekedar menjadi bahan pertimbangan.

Ataupun ada kesempatan, kamu akan diajak beradu argumen, adu kolot, adu konyol, dan segala adu-adu yang lain. Sediakah kamu memilih kekalahan dengan segala konsekuensi yang sudah disebutkan? Atau kamu akan menjadi orang munafik dengan berpura-pura menjadi buntut?

Oke, anggap saja kita berlatih acting untuk menjaga situasi agar tetap kondusif dan agar tak memicu perselisihan. Seolah-olah menerima, sedang di dalam hati justru timbul kesombongan "lihat saja nanti". Atau jangan-jangan kebenaran atau bukan itu bukan sebuah prioritas, yang terpenting adalah mengalahkan atau menundukkan sang lawan bagaimanapun caranya. Menggiring sebuah opini sedemikian rupa hingga hoax-hoax mudah sekali berhamburan di media-media sosial.

Bahkan, urusan update informasi tentang pandemi pun dijadikan bisnis di setiap media sosial dengan tulisan tebal biru di setiap homepage. Atau di kanal-kanal media informasi sudah pasti menjadi tajuk headline. Bolehkah kita tidak mengikuti arus mainstream terhadap Covid-19 dan berperilaku seperti biasa? Lalu bagaimana jika kalian tidak mengikuti anjuran lalu terancam oleh kematian atau menjadi carrier virus yang membahayakan orang lain?

Mau membuat pilihan seperti apapun, kita tetap tidak bisa mengelak atas kemungkinan terjangkit virus tersebut. Bahkan, jika situasi sudah mereda, adakah jaminan bahwa di waktu yang akan datang akan terbebas dari ancaman virus tersebut? Kenapa kita memilih tindakan yang ceroboh dan sembrono dengan melawan sesuatu yang tidak terlihat? Kenapa, kita selalu disajikan oleh data-data absurd tentang kesembuhan dan kematian? Sedang informasi data yang tersaji tidak lengkap. Tidak lengkap seperti apa semoga para pembaca sanggup menafsirkannya sendiri.

Kamu akan ditertibkan oleh petugas keamanan jika bergerombol. Bahkan ibadah yang sifatnya berjamaah sudah mulai dilarang diselenggarakan. Tapi, itu sebenarnya hanyalah sebuah pilihan bagi mereka yang berfikir dengan berbagai tingkat peraturan yang ada, begitupun dengan skala pandang seperti apa yang digunakan. Sebagai warga  negara, tentu kita mesti taat dan patuh kepada peraturan yang berlaku dengan opsi pilihan jika melanggarnya akan mendapatkan sanksi atau hukuman.

Tetapi, sebagai orang yang berkeluarga, adakah peraturan negara tetap berlaku jika keadaan memaksanya untuk menafkahi kesejahteraan keluarga? Atau mungkin bagi orang yang sedang dicintai? Dimana hal-hal seperti ini yang menjadi dasar-dasar tindakan yang pada akhirnya terjebak dalam kasus kriminalitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun