Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Muhasabah, Membangun Kembali Akar Diri

30 Desember 2019   16:24 Diperbarui: 30 Desember 2019   16:24 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: overallmotivation.com

Andai saja semua dapat melihat dengan kejernihan, jika semua permasalahan di dunia ini hanyalah sebatas cinta. Lantas, mengapa tidak sekali-kali kita coba belajar tentang akar? Apakah karena ia tak nampak sebagai sesuatu yang menopang kehidupan akan indahnya sebuah pohon? Yang sering kita manfaatkan daunnya, batangnya keelokan bunganya. Apakah ini hanyalah eksistensi? Tendensi mungkin?

Begitu pula yang menjadi sebuah pembelajaran tentang diriakar keutuhan diri yang menjadi penopang intelektualitas maupun mentalitasdiri seringkali kita acuhkan.ika kita menyadari akar diri itu pun kita dihadapkan dengan sekat-sekat tembok yang sudah saling membatasi menjadi aliran-aliran sendiri dengan label kebesaran identitasnya masing-masing. Semakin megah bangunan itu, maka semakin banyak pula tempat tersebut mampu menampung semakin besar massa.

Tapi, apakah masalah akar hanya sebatas kuantitas? Apa kuantitas jumlah persamaan pendapat atau cara pandang, sudah pasti bermakna benar? Sedang mereka selalu kaku dengan permasalahan "katanya" si Ini, si Itu yang berakhir kepada perselisihan. Benar jika dalam tumbuhan pun ada ketela, ubi, kentang, jahe, ataupun akar-akar lain yang dapat dimanfaatkan. Seperti itu pula gambaran keberadaan tatanan manusia, ada manusia-manusia yang sebenarnya dapat kita manfaatkan pengetahuannya dengan bijak.

Akar ini adalah spiritualitas, yang selalu membangun cinta masing-masing insan melalui terpaan atau ujian agar selalu dapat berkembang meluas. Namun, justru kita tidak sadar dengan jargon "mencintai diri sendiri" yang nyatanya justru lebih menyempitkan pandangan. Akan tetapi, sikap altruis (lebih mementingkan kepentingan orang lain) juga terkadang menjadi langkah yang kurang tepat apabila kita terjebak dalam label identitas tertentu. Orang altruis merasa dia mendapat pengakuan dari kelompok tertentu, hingga akhirnya mereka justru bersikap detruktif terhadap kelompok-kelompok lainnya yang tidak sepemahaman dengan dirinya.

Kecenderungan manusia sendiri adalah hidup bersosial dengan lingkungannya. Yang terkadang dalam praktek lakunya masing sering offside. Kenapa? Urusan akar dirinya sendiri saja belum terselesaikan, sudah njujug membahas akar di dalam kelompok yang menyangkut lebih banyak manusia. Tapi, hal ini pun bukan menjadi sebuah permasalahan serius ketika ia selalu berbekal tawadhu' terhadap ilmu yang bisa datang dari siapa saja.

Akar itu terkadang butuh kita siram, atau beri pupuk supaya tanaman tumbuh dengan subur dan indah. Batang yang menjulang mencari cahaya nampak seperti kerinduan akan perjalanannya menuju cahay. Kesadaran mentalitas untuk tumbuh ini perlu untuk terus dijaga. Begitupun buah-buah yang melezatkan. Semakin matang, semakin ia merindukan kembali jalan pulang ke tanah bumi. Sebuah ilmu, jika semakin matang, maka sejatinya ia akan selalu merunduk. Menghadirkan kelahiran-kelahian baru yang lain dengan kompleksitas tumbuh yang pasti juga dengan tantangan yang berbeda.

Adakah akar diri kita sudah kita ketahui, sebelum omong kosong mengenai akar kompleksitas masalah yang menyangkut kepentingan orang banyak? Atau jangan-jangan itu hanya buah destruktif dari pembenaran akal pikiran diri yang tidak sadar telah tertunggangi oleh variasi ego. Adakah permasalahan itu sebenarnya hanyalah sebatas cara pandang yang masih belum mampu menjadi sebuah ruang bagi sebuah keadaan?

Sediakah kita sekali-kali menimbang-nimbang diri, berbicara kepada diri sendiri? Bermuhasabah untuk kembali melihat bagaimana keadaan akar kehidupan diri kita? Apakah layak jika kita berangan menapaki sebuah puncak dengan keadaan akar spiritualitas yang nampak setelah bermuhasabah? Maukah kita membangun kembali akar diri kita masing-masing?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun