Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meniti Kemuliaan Ummat Sang Penyampai Risalah

10 September 2019   15:33 Diperbarui: 10 September 2019   15:49 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay - Ka'bah

Don't jude a book by cover. Istilah ini sangat terkenal untuk tidak mudah berprasangka menurut apa yang dilihat oleh mata dhohir. Tapi, kita juga sering dibingungkan oleh perbedaan antara prasangka dengan mawas diri. Yang perbedaannya sangat tipis namun sedikit merumitkan. Bahwasanya kita mesti dituntut untuk sedikit lebih berhati-hati, terutama oleh diri sendiri daripada oleh faktor-faktor di luar diri kita sendiri.

Para nabi pun mengalami hal serupa, dimana oleh karena kekhusyukan Nabi Isa, beliau sampai dianggap sebagai Tuhan oleh ummatnya. Meski begitu, bukan berarti para Nabi yang lain lantas tidak sanggup untuk khusyuk. Justru ini merupakan salah satu bentuk kecelakaan dhohir jika sampai menganggap kekhusyukan Nabi hingga dianggap sebagai Tuhan. Disini saya tidak memperdebatkan tentang keyakinan, semua boleh meyakini apa yang telah diyakini.

Begitupun dengan sebuah peringatan hari anak yatim yang jatuh pada tanggal 10 Assyuro ini. Kita mesti belajar berpikir universal agar tidak salah mengartikan makna dari anak yatim sendiri. Anak yatim selalu dianggap rendah jika diartikan secara substansial. Kita tidak belajar memandang dari sisi nilai dari anak yatim itu sendiri. Akibat lebih mengutamakan cara pandang substansial, tak bisa dipungkiri hal tersebut merupakan salah satu penyebab dari kecelakaan dhohir.

Apa kalian fikir anak-anak yatim itu lebih membutuhkan materi daripada kasih sayang? DIsaat dirinya setiap hari terbiasa dengan keterbatasan materi, dengan hanya memberinya materi mungkin mereka tak akan terkesan. Mereka telah merasakan kehilangan yang tak mungkin tak ada suatu materipun yang mampu menggantikan rasa kehilangan tersebut. Kecuali jika kamu sengaja akan membuatnya mabuk, seolah kamu secara sengaja menawarkan sebotol anggur. Meski tak pernah terlewat rasa terima kasih itu selalu terdengar setiap kali engkau memberi.

Memang, sebuah prasangka kerap terdengar mengherankan. Jika yang mencuat secara lisan adalah mawas diri, itu hanyalah sebuah pembenaran diri. Ada penjual soto dengan sistem pembayaran seikhlasnya, dikomentari. Bukankah sudah bagus jika ada niat bekerja tanpa memikirkan untung rugi? 

Tidak usah ditambah-tambahi premi-premi absurd yang belum pasti dan justru manambah keruwetan cara berpikirmu. Bahkan, segala laku pemerintahan terlalu banyak kalian kritik, tanpa sekalipun ada tindakan nyata untuk membenahi, setidaknya untuk diri sendiri. Bahkan, merasa suci hingga tidak mau berhubungan dengan pemerintahan. Terkadang, para lelaki ghibah-nya terlalu ekstrim melebihi kaum hawa.

Antara Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Qur'an, apakah kitab-kitab tersebut berdiri sendiri, apakah sesungguhnya kita-kitab itu satu? Begitupun para nabi, adakah hak kita untuk membeda-bedakannya? Disaat para nabi itu adalah para wali Allah, yang dicintai dan dilindungi oleh Tuhan. Bahkan kita sering salah sangka jika Nabi Adam adalah yang pertama, disaat sesungguhnya Nur Muhammad sudah tercipta. Meskipun belum berwujud dhohir sebagai seorang manusia.

Hal tersebut dibuktikan dengan pengakuan Nabi Adam kepada Nabi Muhammad. Dalam sebuah hadits Rasulullah, Disebutkan bahwa Nabi Adam as berkata: 

"Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada ummat Muhammad empat kelebihan yang tidak diberikan kepadaku," Pertama, taubatku hanya diterima di kota Makkah, sementara taubat ummat Muhammad diterima di sembarang tempat atau di mana saja. Kedua, pada mulanya aku berpakaian, tetapi ketika aku berbuat durhaka kepada-Nya, maka Allah Ta'ala menjadikan aku telanjang. Sebaliknya dengan ummat Muhammad yang berbuat durhaka dengan telanjang, tetapi Allah tetap memberi mereka pakaian. Ketiga, setelah aku durhaka kepada Allah, maka Dia langsung memisahkan aku dengan istriku. Tetapi tidak untuk ummat Muhammad. Mereka berbuat durhaka, sementara Allah tidak memisahkan istri mereka. Yang keempat, memang benar aku pernah durhaka kepada Allah di dalam surga dan aku kemudian dikeluarkan dari surga, sebaliknya ummat Muhammad durhaka kepada Allah, tetapi justru dimasukkan ke dalam surga apabila mereka bertaubat kepada-Nya."

Begitu mulianya mereka yang mendapatkan kesempatan telah diakui sebagai ummat Muhammad. Hingga Nabi Adam pun terkesan dengan kemuliaan yang tak pernah dirasakan beliau. Tapi, apa yang terjadi sekarang? Mereka terlalu memandang menjadi ummat Muhammad secara substansial. Hingga fenomena takfiri atau mengkafirkan orang yang sudah islam bukan menjadi tindakan yang tabu dilakukan oleh para pemuka agama. Hingga berhak secara sepihak memutuskan rahmat Tuhan yang selalu terkandung dalam setiap keadaan.

Lalu, apakah ummat Sang Penyampai Risalah hanya dimiliki oleh mereka yang secara kebetulan dan keberuntungannya sejak lahir telah menempuh wasilah Islam? Atau perlu sebuah perjalanan/proses pembelajaran pula untuk bergabung menjadi bagian dari ummatnya? Dan apakah menurut kalian nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad bukan islam? Jika melihat indikasi empat kemuliaan tersebut, semua manusia memiliki potensi untuk menjadi ummatnya Kanjeng Nabi Muhammad. Dengan catatan tidak terlibat kecelakaan dhohir. Teruslah mencari, teruslah berjuang, teruslah mencari makna.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun