Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stay Strong, Indonesia!

20 Agustus 2019   16:17 Diperbarui: 20 Agustus 2019   18:12 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrator @septianfrodo

Kenapa tidak menyalahkan kayu yang menopang bendera itu? Kalau misal itu angin yang menjatuhkan benderamu, masih beranikah kamu mendemo angin itu? Letak harkat martabat sebenarnya di hati apa terwujudkan oleh simbol bendera tersebut? Di saat masih ada puluhan juta bendera lain yang berkibar dengan gagahnya. 

Bahkan, adakah bendera itu jatuh tanpa ada yang mengizinkannya untuk terjatuh? Meskipun melalui tangan-tangan yang sangat tidak bertanggung jawab, siapa yang menggerakkan tangan itu? Semudah itukah kita dihasut? Di saat Dia sudah pasti mengetahui sebab-akibat yang akan terjadi setelahnya. Semudah itukah kita dipermainkan? Atau di balik konflik perselisihan ini, sebegitu besarkah hikmahnya demi sebuah persatuan dan kesatuan sebagai sebuah Negara Kesatuan?

Tentu rencana Sang Maha Pengatur-lah yang paling asyik, dengan segala keterbatasan akses informasi meskipun terlihat bebas. Dengan segala jelajah imajinasi maupun nalar kita tak akan mampu mengetahui bocoran rencana Sutradara 'Panggung Sandiwara'. 

Sebegitu rendahkah kita hingga hanya dengan simbol yang berwujud sanggup untuk melukai hati para penjelajah dunia. Apakah harkat dan martabat sebuah golongan lebih tinggi pangkatnya daripada sebuah cinta terhadap perdamaian dan kebersamaan? Jangan-jangan ini hanya sebuah kepentingan. Berbekal segala ketidaktahuan itu sehingga semuanya akan menjadi penuh kejutan.

Konflik itu bukan menjadi sebuah permasalahan. Bahkan, beberapa pekerjaan memang membutuhkan sebuah konflik atau sengketa agar mendapatkan sebuah penghasilan. Dan penghasilan itu pun juga pada akhirnya sebagian juga demi diberikan kepada sesuatu yang dicintainya. Persepsi tentang kebaikan, kenyamanan, kemakmuran, kesejahteraan, persatuan, keadilan bahkan kebenaran tentang Tuhan tidak pernah bisa disamaratakan.

Bahkan idiom negara hukum pun terkesan tak lebih sebagai sebuah anekdot. Hukum tak lebih hanya sebagai kendaraan atau sebagai sebuah perisai bagi mereka yang berkepentingan. Yang sangat-sangat melalikan kepentingan utama kita yang hanya diberi kesempatan sekali untuk menikmati hidup.

Di satu sisi merasa terpuaskan, belum tentu yang lain bisa merasa puas juga. Yang satu merasa tercukupi, sementara yang lain apakah merasa cukup yang sama pula? Yang sini merasa 100% benar, yang lain pasti belum pasti 100% merasakan persetujuan yang sama. Makan satu piring kenyang, belum tentu untuk yang lain. Hidup sehari sekian rupiah, belum tentu juga buat yang lain. Kita tidak bisa statis, hidup itu mesti dinamis. Kadang menang, kadang kalah. Tidak mungkin semua akan menjadi sebuah kemenangan. Makanya hayya 'alal falaah. Ayo menuju kemenangan. Bukan "ini lho, kemenangan".

Daripada sibuk mengurusi kepentingan golongan, kenapa tidak lebih baik memilih jalan keselamatan bersama? Tidak sadarkah mengapa kita sebegitu mudah dipermainkan?

Yang saya yakini adalah mereka sedang melakukan bagian perannya masing-masing. Mereka berdiri di atas kebenaran masing-masing atas nama sesuatu yang dikasihi dan dicintainya. Terlalu tinggi untuk menyamaratakan cinta terhadap bangsa jika tendensi akan lingkungan terdekatnya belum terselesaikan. Tidak ada yang pernah benar-benar memakmurkan. Semua hanya menjadi wacana bagi mereka yang tidak kebagian makmurnya. Semua hanya jadi cidro bagi merekaya yang tak berbalas cintanya.

Big Applause bagi "mereka" yang mampu menciptakan keresahan seperti ini. Yang telah dipercaya Tuhan sebagai pengambil peran antagonis yang bahkan aibnya pun masih dirahasiakan. Bahkan dia yang kita sangka tokoh antagonis, sesungguhnya bagi "mereka" merupakan sebuah peran protagonis karena hanya melakukan kewajiban atas apa yang diizinkanNya.

Sebagai warga sebangsa dan setanah air, kita mesti tidak perlu terlalu mempermasalahkan sebuah provokasi dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab karena lebih mementingkan persaudaraan sebagai warga sebangsa dan setanah air. Terkecuali jika kalian ada masalah dengan jiwa persatuan dan kesatuan dan ingin menang sendiri dan merasa lebih hebat dari golongan lain. Masih adakah satu rasa sepenanggungan? Stay Strong, Indonesia!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun