Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hati-hati dengan Kebenaran

25 Juni 2019   16:22 Diperbarui: 25 Juni 2019   16:52 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka selalu terjebak karena selalu menyebut Indra sebagai seorang juru tulis. Sedang Indra sendiri tidak pernah mendeskripsikan identitas semacam itu. Meskipun seorang mantan wartawan senior pun mengatakan bahwa seseorang yang menulis disebut sebagai penulis. Dengan penuh kebohongan dan keterpaksaan Indra mesti meng'iya'kan sebagai sebuah bentuk penghormatan kepada beliau yang lebih tua dan sudah saya anggap sebagai seorang guru. Diam-diam hati ini memberontak jika mesti dikatakan dengan sebuah identitas semacam itu.

Definisi atau deskripsi setiap orang terhadap pemaknaan sesuatu memang hampir pasti ada perbedaannya. Hampir mustahil kesepakatan akan kemufakatan itu akan terjadi kecuali ada yang legowo dengan menerima pendapat yang lain, meskipun berbeda. Orang yang legowo ini pun memiliki konsekuensi untuk menuruti kesepakatan yang di legowokan. Tidak hanya satu, tapi kerelaan ini sudah pasti terjadi pada banyak kesepakatan. Namun, semua hal itu biasanya tidak mengubah prinsip pemikirannya. Dia merelakan konsepnya di depan umum disaat konsistensi pemikirannya sebenarnya masih dipegang secara teguh.

Yang diprioritaskan di sini bukanlah sebuah kebenaran, melainkan menciptakan suasana yang tenteram. Orang yang legowo pasti biasanya memiliki beberapa langkah pemikiran lebih kedepan dibandingkan dengan yang keras kepala. Dia tidak menginginkan konflik dalam mencari sebuah kebenaran. Karena kebenaran itu sendiri hanyalah sebuah kedinamisan jika disandingkan pada skala rentang waktu. 

Dan sebagai hasilnya, orang legowo pun lebih pintar untuk niteni sesuatu. Karena dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah ia buat tadi, dia mesti melawan ego dirinya agar tidak menyakiti hati siapapun disaat bertemu dengan seseorang dan tidak mengingkari kesepakatan atas apa yang telah disetujui bersama.

Lebih baik terlihat bodoh karena memang bodoh daripada mesti memaksakan sebuah kebenaran atas dasar gengsi karena takut akan kerendahan. Memang dalam pelajaran SD pun diajarkan jika "orang yang sedang menulis disebut penulis", bahkan mereka pun tahu jika orang yang akan menendang bola itu disebut sebagai seorang penendang. Tapi sekali lagi, kita mesti menyepakati kesepakatan umum. Dan sekali-kali menggunakan item 'legowo' yang terselip di lubuk hati kita.

Lantas bagaimana jadinya jika Indra membantah label 'seorang penulis' tersebut secara lantang ataupun bercanda langsung dimuka. Jujur saja sebenarnya jalan ini memang lebih pintas, istilahnya 'to the point'. Tidak ya tidak, setuju ya setuju. Ibarat kata ingin menuju puncak sebuah gunung ada bantuan lift, ya dimanfaatkan. Daripada cepek-capek jalan mengitari lereng gung yang berkelok-kelok dan licin. Dan mungkin hanya Indra saja yang bodoh karena memilih berjalan mengitari lereng daripada memintas. Meskipun kebenaran ada di puncak tersebut dan Indra akan kalah untuk menggapainya. Itu 'kan kelihatannya. Itu 'kan konsep pemikiran kita secara umum.

Apa perlu dengan lantang Indra mengatakan, "siapa yang menciptakan kata-kata ini sampai akhirnya dapat terbaca dan terpahami oleh yang membacanya? Siapa? Jari-jemariku? Ataukah ideku yang pada akhirnya mereka sangka sebagai buah pemikiranku? Sedang aku sendiri selalu menyadari ada sesuatu yang mencurahkan sesuatu ke pemikiranku." Jadi sebenarnya semua yang tertulis menrut Indra bukanlah ia yang menulis. Makanya jika harus melakukan pembelaan, Indra akan mengatakan seperti itu. Akan tetapi, tidak semuanya memahami kebenaran versinya. Lantas Indra lebih banyak memilih diam dan legowo.

"dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar..."

Sepenggal ayat tersebut pasti bermakna baik, meski jika diteruskan asbabun nuzulnya terdapat konteks membunuh. Di mana notabenenya membunuh itu sendiri adalah tindakan yang tercela atau salah jika hukumnya diterapkan bagi sesama manusia. Namun, tidak dengan Allah. Bebas!

Jadi sebuah tulisan dalam bentuk apapun bukan Indra yang melempar, bukankah begitu? Nama, ide, atau segala bentuk gagasan yang tertuang apakah karena kejeniusan atau kedekatan dengan Tuhan? "Meskipun aku mencuri? Membunuh? Berarti itu bukan aku?"

"Lha kamu sudah pernah melakukannya apa belum? Kalau belum bersyukurlah kamu, kalau sudah, ya, berarti kamu mendapatkan mandat untuk menjadi sebuah model pembelajaran bagi manusia-manusia di sekitarmu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun