Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Esai | Manusia Kurungan

9 April 2019   12:20 Diperbarui: 9 April 2019   12:46 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Minggu pagi merupakan waktu yang tepat untuk menikmati dunia bagi mereka para pendamba gaji dari kantor. Seperti mendapatkan waktu sejenak untuk keluar dari kurungan yang kebanyakan waktu mereka tempati. Dan mereka percaya hanya dari kurungan itu mereka bisa makan dan minum. Seolah terpesona oleh keelokan Sunday morning. Berbeda dengan saya yang nekat tidak mau dikurung, makan pun tidak jelas. Everyday is Sunday. Bebas kemana saja mencari kamu. Setiap hari terlepas memuai ke angan kesejatian.

Tapi ternyata manusia kurungan itu sangat sakti. Mereka seakan menjadi duta bagi dunia. Mengatasnamakan kebahagiaan dan keselamatan, bahkan sampai ke kebenaran. Sungguh sangat menarik, semua yang saya cari mereka mempunyai. Mereka sakti, bisa mengorbit semua teknologi untuk lebih membantu menghias kurungan mereka. Perkataan mereka sungguh luar biasa. Tanpa pernah menyentuh kulit saya pun, mereka sanggup memprediksi masa depan orang gelandangan seperti saya ini. Yang tak mau berada dalam kurungan manapun. Suram!

Kalau ada salah satu seorang gelandangan kumuh seperti saya ini uang puluhan juta, kami disangka hanya enak-enak. Yang hanya bermodal menodongkan tangan sambil mengharap belas kasihan. Harga diri kami, kami jual kepada kalian, disaat tak ada satupun dari kami yang ingin hidup seperti ini. Kami tak punya selembar ijazah diploma atau sarjana, bahkan sudah punya ijazah sekolah tinggi saja kami sudah setengah mati membiayai itu. Kami tak punya modal untuk membuat usaha dan kami juga tak mempunyai sepetak lahan pun untuk digarap.

Dan mengapa kalau salah seorang dari gelandangan seperti kami dapat mengumpulkan uang banyak, seolah semua teman-teman segelandanganku juga ikut menanggung merasakan hal yang sama? Mengapa salah satu diantara kita tidak boleh ada yang sukses seperti mereka yang tolak ukur kesuksesannya jauh sangat berbeda itu? Kalau manusia kurungan itu iri terhadap kami yang lepas dari kurungan, tidak ada yang melarang untuk menjadi seperti kami. Lowongan terbuka lebar, persyaratannya mudah, hanya saja harus bermuka tebal, teguh hatinya, serta siap dan rela jika harga dirinya dihina. Maukah kalian wahai manusia kurungan? Yang memiliki kebenaran yang kalian anggap sejati, padahal itu relatif.

Bagaimana kalian bisa mengerti kami, mau membantu kami kalau merasakan jadi kami pun tidak pernah. Lima ribu rupiah mungkin sudah sangat cukup bagi kami sekeluarga. Tapi kalau menghamburkan seratus ribu rupiah hanya untuk dirimu sendiri. Kalian memnbayar pajak lebih banyak daripada memberi zakat kami yang fakir. Kalian lebih suka menyegarkan dahaga para penguasa daripada menolong kami dari lembah yang katanya adalah kemiskinan.

Di pagi hari itulah waktu kami bersilaturrahmi. Kalian memandangiku dengan sebelah mata, dengan penuh lemparan hina. Sedangkan kami memandang kalian dengan harap-harap cemas. Kami berpakaian lusuh, menggendong anak dikira pencitraan. Apalah kami ini, kami sudah biasa diprasangka seperti ini. Tapi sangatlah bersyukur kami masih merasa mempunyai Tuhan Yang Maha Baik, yang selalu memberikan kekuatan dan rejekinya.

Kami rasakan kenikmatan sejati dalam menolong kami dengan penuh keikhlasan. Tuhan memberikan fasilitas melalui kami untuk menuju keabadian sejati. Tidak mungkin semua orang punya atau tidak punya. Tuhan menciptakan perbedaan, menciptakan cinta dan benci, senang sedih, kaya miskin, benar maupun salah. Bukankah semua itu agar kita berpkir menuju kesejatian? Agar perbedaan itu berpasang-pasangan untuk saling melengkapi. Hati-hati jika ingin menyangka, terkadang wujudmu nanti adalah buah perkataanmu saat ini.

2 november 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun