Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Mikul Ihsan Mendhem Iman"

15 Maret 2019   11:26 Diperbarui: 15 Maret 2019   12:12 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halaman Joglo Panembahan, Wijilan - dokpri

Malam menyapa, perjalanan puluhan kilometer ke Provinsi yang diistimewakan siap diarungi demi mencari suatu manfaat yang terus dicari. Terkecuali rasa bahagia ketika dapat bertemu para manusia yang elegan. Mengapa elegan? Karena mereka masih ada keinginan untuk belajar diluar batas waktu kewajaran dalam rentang usia yang bervariasi. Tentu dengan mimik keceriaannya, tanpa ada tanda-tanda pemaksaan yang sering biasa terjadi pada suasana pembelajaran formal.

Ini bukan forum pengajian yang kebanyakan menampilkan seorang tokoh diatas mimbar. Tapi ini juga tidak bisa lepas dari kata pengajian karena pada saat tertentu ada sholawatnya. Ini adalah suatu suasana yang memang ditujukan untuk dapat sinau bareng/belajar bersama. Yang fokus tujuannya memang belum ditemukan, hanya saja ketika pulang dari sinau bareng, segala kecemasan atau kekhawatiran tentang hidup sedikit mritili. 

Yang pada akhirnya akan menjadi seperti candu, sebuah kerinduan yang dirasakan. Dan setiap orang yang datang ke Joglo Panembahan kali ini membawa bekal kerinduan yang berbeda-beda. Walau kebanyakan memang datang karena merindukan sosok Mbah Nun, bukan suasananya.

Tempat proses belajar pun sedikit berbeda dari biasanya. Berada di daerah Wijilan, halaman Joglo Panembahan tidak terlalu luas, hingga sebuah proyektor besar pun memang sengaja disediakan oleh pihak penyelenggara yang seolah tahu kalau ruas jalan depan Joglo Panembahan akan sepadat malam ini. 

Para Tokoh Masyarakat (Pak Lurah, Pak Camat, Bu Kapolsek, dan Pak Danramil) pun nampak menemani Mbah Nun dan Kyai Kanjeng di atas panggung. Walau langit tak nampak cerah, tapi setidaknya mereka memberi waktu pada muntazhirrun untuk mengobati kerinduannya.

"Pokoke endingnya anteng" kurang lebih seperti itu kata-kata pertama Mbah Nun ketika membuka acara di acara malam itu. Entah apa maksud dari pernyataan tersebut, yang pasti kita akan segera menikmatinya. Dengan tema 'Mikul Dhuwur Mendhem Jero' yang menjadi salah satu khasanah dalam ilmu Jawa sepertinya akan greget. Bagaimana nanti hal tersebut akan diterapkan baik sebagai individu, keluarga, bahkan negara. Lagu Gundul-Gundul Pacul pun menjadi pembuka pintu acara sinau bareng malam itu.

Sepertinya kata 'pertanyaan' sedang hangat melekat mesra di benak Mbah Nun. Nampak ketika beliau menyatakan bahwa hidup adalah mempelajari pertanyaan-pertanyaan dan berjuang untuk menemukan jawaban. Terutama ketika hati kita terus-menerus melontarkan hal-hal yang sekiranya tidak penting, namun justru itu seperti pengingat kalau kita telah meninggalkan landasan-landasan kehidupan. 

Salah satu contoh penyakit nyata kita melalaikan hal tersebut adalah kita terlalu menganggap simbah-simbah dahulu sudah ketinggalan zaman atau (maaf) bodoh. Padahal, kita hanya melihat secara wadag, karena proses pendidikan zaman sekarang mengajari menilai seseorang dengan tolak ukur kesuksesan. Disaat menurut seorang Ulama, menilai orang lain itu hanyalah salah satu tanda masih ada ketinggian hati dalam jiwa kita.

Kita terhijab dari ilmu-ilmu simbah kita sendiri. Bagaimana dulu mereka begitu menerapkan 'Mikul Dhuwur Mendhem Jero'. Mbah Nun lalu menjelaskan ilmu tersebut dengan lagu Gundul-Gundul Pacul, dimana dalam lagu tersebut kita menemukan kata 'nyunggi wakul'. Kenapa nyunggi (mengankat di atas kepala)? Bukan nyangking (menjinjing) atau nenteng (sekedar mengangkat)? Jelas Mbah Nun mengutarakan itu karena ada makna. 

Di dalam wakul yang disunggi memiliki lambang sebagai kesejahteraan umum, berupa pangan. Kita harus menyunggi kesejahteraan itu lebih tinggi di atas kepala kita. Hal ini berlaku untuk para wakil rakyat. Sebenarnya sangatlah berat menanggung sikap nyunggi dan mesti dipikul dhuwur itu. Namun, sekarang orang-orang justru berlomba untuk saling memperebutkan kursi sebagai wakil rakyat. Seperti tidak mengerti apapun tanggung jawab yang didapuk ketika menempati kursi-kursi itu.

"Lantas, mulai dari kapan seseorang bisa di-Gundul Pacul-i?" Mbah Nun mengajak para jamaah untuk lebih berfikir. Berada di usia berapakah seseorang bisa dianggap baligh? Selama ini kita hanya memakai patron barat yang menilai bahwa seseorang dianggap sudah dewasa jika telah memasuki usia 18 tahun.  Kalau di Jawa baligh biasanya dilihat dari itunya sudah di khitan atau belum. Namun apakah benar seperti itu? Disaat para wakit rakyat saling menunjukkan mental bahwa mereka belum baligh, padahal secara usia teman-teman bisa melihat sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun