Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jika Gerak Adalah Pertanyaan

13 Maret 2019   13:48 Diperbarui: 13 Maret 2019   14:00 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika tiap gerak adalah pertanyaan, suka maupun duka adalah jawaban. Atau dengan kata lain nasib adalah jawaban. Tapi tentu pernyataan ini tidak bisa ditelan mentah-mentah. Karena Ia adalah Maha Membolak-balikkan segalanya. Ada kalanya kita perlu belajar kembali menjadi anak-anak, ketika diri masih belum terkontaminasi oleh polusi zaman ataupun kedewasaan yang mengkerdilkan. Ketika senyum ataupun ringkikan bisa lepas sepuasnya tanpa mesti tertahan oleh apapun.

Jika kesenangan yang kita alami, itu bukan berarti apapun yang kita lakukan sebelumnya adalah sebuah kebaikan. Kita sebagai manusia tidak akan pernah bisa 100% melakukan kebaikan. Begitu pun halnya dengan nasib, jika kesenangan yang kita alami, kemungkinan itu bisa berarti itu merupakan suatu hukuman. Terutama bagi mereka yang tidak pernah bisa merasa menjadi baik. Mengapa?

Sekarang jika diperhatikan mana yang lebih baik diantara "merasa baik" atau "merasa salah". Merasa baik hanya menjadikan kita lebih sombong jika memandang manusia yang dianggapnya kurang baik. Bahkan yang merasa baik, tak akan segan suka mengumpat kepada orang yang pada waktu itu kurang baik. Padahal belum tentu orang yang mengumpat tersebut, di akhir hidupnya, ia tetap akan berada dalam keadaan baik. Berbeda dengan merasa salah, kita akan merasa hina walaupun segala kebaikan telah dilakukan. Kita akan terus menghisab diri dan merasa was-was jika "merasa salah" selalu kita terapkan ke dalam diri sendiri.

Lantas ketika nasib berwujud segala suka, itu bisa menjadi sebuah hukuman, karena Tuhan Maha Mengetahui kalau ternyata hanya dunia yang diinginkan dengan menjadikan  kesuksesan sebagi perantaranya. Begitupun andai nasib yang diterima itu tidak baik. Mereka tidak akan merendahkan diri, melainkan hati mereka akan menjadi semakin keras. Mereka tidak akan pernah menyadari kalau setiap keadaan itu adalah jawaban atas pertanyaan yang mereka ajukan.

Apakah itu akan membuat kita aman? Tentu saja tidak, kita diberi hadiah sebuah kehidupan Bukan untuk mencari kesenangan ataupun kesuksesan. Kita diberi kehidupan bukan untuk menggapai cita-cita ataupun menjadi seseorang yang bermanfaat bagi banyak orang lain. Bahkan kita hidup pun tidak hanya untuk menyembah ataupun beribadah. Tuhan tidak perlu puja-pujaan kita semua. Tuhan mungkin muak dengan sembahan-sembahan semu para hamba-hambaNya. Karena terlalu sering ia tunjukkan identitasnya bahwa ia pemuja Tuhan. Tuhan jadi gak pateken. Terkadang, Tuhan merasa diduakan atau bahkan hanya menjadi tameng atau pembelaan atas kebenaran menurut egonya sendiri.

Seperti halnya menabung, bagi mayoritas manusia menabung adalah sesuatu yang positif demi terjaganya kenyamanan hidup di masa depan. Menabung lebih banyak diartikan sebagai menyimpan harta benda dan barang materialistik lainnya. Tapi suatu ketika Tuhan mendadak memiliki kehendak lain. Dia tiba-tiba kangen dan memanggilmu kembali. Sesuatu yang kau tabung selama ini demi masa depan yang kamu bayangkan itu. Apakah masih akan bermanfaat segala tabungan materialistikmu itu jika Tuhan mendadak memanggilmu? Oh, buat anak cucu. Lantas, warisan manakah yang lebih penting antara materi atau sikap kemandirian? Bahkan, jika buat anak cucupun, semua akan percuma jika tidak ada sikap kemandirian.

Jika kamu memiliki gerak ataupun pertanyaan seperti itu, ujungmu hanyalah sebuah kekhawatiran akan kesengsaraan dan ketidakberdayaan Tuhan akan jaminan masa depanmu dan keluargamu. Yang kamu takutkan hanyalah prasangka orang akan masa depanmu, bukan bagaimana Tuhan selalu menjamin masa depanmu selagi selalu ada usaha. Jadi, kaya atau miskin sebenarnya bukan suatu masalah jika kamu sering menyapa Tuhan. Yang terpenting bukan harga dirimu di hadapan manusia, tapi di hadapan Tuhanmu.

Apa gunanya mencari rasa bahagia tetapi dijalani dengan penuh kekhawatiran, sedang lara akan selalu ditempuh dengan segenap rasa syukur atas rejeki yang diterimanya. Kasih sayang akan selalu menjadi senjatanya tatkala ia menunggangi monster yang ada pada dhohirnya. Kesabaran akan selalu menjadi bahan bakar untuk melakukan perjalanan panjang yang begitu kompleks, tidak begitu menyenangkan, dan tidak juga begitu memuakkan.

Cuma labirin-labirin ilmu yang terpampang yang akan selalu menjadi tujuan selangkah demi selangkah untuk menapaki jenjang ilmu yang begitu luas. Bukan hanya sebatas mencari selembar legalitas cap sebuah universitas negeri. Bukan hanya sebatas bisa memamerkan sebuah hasil karya yang telah diakui oleh banyak orang. Bukan sebatas bermanfaat bagi semesta. Karena semua itu hanyalah ke-suwung-an. Nothing!

Itu semua hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang tiada henti kita lakukan di tiap jenjang ilmu. Dan ilmu itu tidak akan membuat kalian semakin pintar. Ilmu hakikatnya akan membuat kalian semakin tidak mengerti, menjadi semakin bodoh, menjadi serba salah karena begitu banyak ketidaktahuan akan keluasan ilmu itu sendiri.

Tanpa sadar, pertanyaan-pertanyaan dari segala ratapan akan selalu kita tapaki. Jengkal demi jengkal. Setapak demi setapak. Langkah demi selangkah. Baik secara individu kita mengajukan pertanyaan itu ataupun kita melakukannya secara berjamaah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun