Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Essai | Gelombang

8 Oktober 2018   15:04 Diperbarui: 8 Oktober 2018   16:08 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap manusia sekarang bangga akan identitas yang melekat pada dirinya. Contohnya saja sebuah nama gelar yang melengkapi namanya baik di depan atau dibelakang. Yang bisa menunjukkan tingkatan kelas akan ilmu yang ia telah tempuh. Walaupun belum pasti gelar yang tersanding di namanya didapat karena telah "lulus" atau Cuma sekedar formalitas ritual yang harus dijalani untuk mendapati gelar tersebut.

                Bukan hanya itu, secara tidak sadar pun kita sering mengidentitasikan diri kita sendiri ke dalam suatu kelompok tertentu. Dan kita bangga akan itu. Sekarang yang perlu diperhatikan itu kitanya sebagai manusia apa identitas tersebut? Gelar? Apakah besok di alam sana hal tersebut akan ditanyakan? Kamu kalau tidak bergelar sarjana kamu tidak akan masuk surga. Atau kamu kalau tidak ikut dalam kelompok FPI kamu tidak akan mendapat surga. Begitukah?

                Entah kita ini terlalu polos atau jujur terhadap dunia ini. Kita sudi untuk digiring sedemikian rupa sehingga kita lupa akan hakikatnya kita sebagai manusia. Kita dibuat terhijab oleh segala kefanaan. Oleh gegap gemerlap kehidupan mewah dunia. Oleh kesenangan, kecemburuan, kekuasaan, pangkat, jabatan yang selalu kita kejar demi mendapatkan penghidupan yang layak.

                Sebenarnya saya sendiri pun takut kalau semua ini hanyalah sebuah pembelaan terhadap diri saya sendiri. Ketaatan ini bisa menjadi "jebakan batman" bagi si penulis. Jujur ketaatan akan lebih menjerumuskan daripada kemaksiatan karena hal itu bisa tidak terlihat dan tidak disadari sama sekali.

                Maka dari itu kita mesti memperhatikan dan lebih belajar untuk mengenali diri kita sendiri. Kenapa? Bukannya lebih baik kalau kita mempelajari ilmu yang bersangkutan dengan kemajuan baik bagi diri sendiri maupun sekitar kita? "kemajuan" disini berarti ada sedikit ego yang mendorong nafsu untuk menjadikan sesuatu lebih baik. Dalam bentuk apapun yang pasti itu berkaitan dengan apa yang diluar diri kita yang nanti mungkin akan  berimbas pada dikenalnya atau pembuktian diri.

                Kita masih sering salah berprasangka karena belum mengenalnya kita pada diri kita sendiri. Mengapa kita disini atau mengapa aku lahir, mengapa aku jadi manusia, bukan burung? Mengapa aku lapar, haus? Mengapa hanya aku, bukan dia, atau ia, atau mereka? Kita sering mengira bahwa dunia itu terlalu luas, padahal diri kita sebenarnya adalah lebih besar dari dunia itu, hanya prasangka kita menjadikan dunia itu terlipat-lipat.

                Sebenarnya saya sendiri pun bukan seorang penulis atau seorang ahli, jadi ya sejalannya jari jemari mau menekan huruf apa aja, yang penting jalan gitu aja. Jangan diperhatiin, diikutin apalagi dipikir dalem-dalem. Tapi jangan terus enak-enaks aja hidup itu, harus dibikin serius.

                Salah satu cara untuk mengenali diri kita sendiri ialah dengan mengetahui gelombang dimana kita berada. Gelombang disini merupakan suatu ahwal (keadaan) yang sangat mempengaruhi pemikiran kita, baik itu tentang dirinya, dunia, ataupun Tuhannya. Gelombang ini sangat menentukan arah dan tujuan seseorang. Gelombang ini terbagi dalam 3 tahap. Yang pertama merupakan gelombang terluar, paling terlihat di zaman sekarang ini. Lalu, ada gelombang pencarian, dan yang terakhir merupakan inti gelombang.

                Gelombang terluar ini biasanya mencakup pandangan materialistik. Golongan yang termasuk dalam golongan ini masih terhijab oleh dunia ini. Dia lebih banyak disibukkan oleh urusan dunia, yang sejatinya tidak memiliki nilai keabadian di dalamnya. Karena semua urusan di dunia ini sebenarnya hanyalah kefanaan, hanya senau gurau, bahkan kalau kita bisa melipat waktu hidup di dunia hanyalah "mampir ngombe kopi".

                Orang saling sikut sana-sini karena keegoisan masing-masing, akan rakusnya kekuasaan, pentingnya suatu jabatan. Orang yang ada dalam gelombang ini sudah terhalang oleh nafsu dan syahwat yang membungkus hati mereka. Naluri kecintaan pada alam semesta telah kabur, bahkan hilang sama sekali. Kalaupun ia beribadah yang ia minta hanyalah harta kekayaan dunia dengan alasan demi masa depan yang lebih baik.

                Masa depan hanyalah misteri, masih ghaib, tidak seorang pun mengetahuinya kecuali orang-orang yang telah dikaruniai penglihatan khusus oleh Tuhan. Sungguh "saru" ketika meminta masa depan yang lebih baik pada Tuhan akan tetapi itu hanya kepentingan dirinya sendiri atau setidaknya demi keluarganya. Bukan untuk Tuhan yang dia sembah, yang dia selalu mohon doa. Seakan-akan tuhan tidak pernah memikirkan masa depan kita walaupun hanya beberapa detik saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun