Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ekstase Dunia Maya dalam Kasus Video Gisella Anastasia

14 Januari 2021   20:08 Diperbarui: 13 Maret 2021   11:15 1987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Monoar Rahman Rony from Pixabay

Apakah anda tahu artis Gisella Anastasia? Baiklah, bisa dipastikan jawaban anda adalah ya. Namun, apakah anda mengenal secara pribadi artis tersebut? Untuk pertanyaan ini tinggi kecenderungan anda menjawab tidak. Jelas, sekadar tahu dan mengenal secara pribadi tidaklah sama.

     Sayangnya, sejak internet mulai dikenal hampir lima puluh tahun lalu, perbedaan konsep keduanya terhisap sihir komunitas jaringan yang demikian kuat sehingga mengelupaslah kesadaran orang dan menggantinya dengan kesadaran penuh tipuan: kita tinggal dalam sebuah keluarga besar yang saling terhubung dan saling mengenal. Dalam dunia maya, tiba-tiba setiap orang tidak hanya tahu satu sama lain, tetapi juga seolah-olah saling mengenal dengan akrab. Tidak mengherankan apabila dalam samar-samar batas kesadaran itulah, sebagai contoh dalam kasus ini, orang merasa ikut memiliki hak untuk membuka dokumentasi pribadi orang lain sekalipun itu tayangan yang tidak senonoh.

     Belum lama ini sang artis mengakui dialah sendiri pelaku dalam video berdurasi 19 detik itu. Beberapa pakar menganggapnya korban, dengan asumsi sederhana yakni dia tidak bermaksud mempublikasikan. Mestinya, penyebar video sang artislah yang dicap melanggar pasal Undang-Undang ITE. Dalam pada itu, netizen yang semula ramai menduga pelaku dalam video beradegan dewasa mirip siapa,  kini perbincangan tentang itu perlahan mulai mereda. Kasus ini tampaknya berakhir dengan ending yang jelas. Hanya saja, ada yang tak akan pernah hilang sekalipun kasus ini berakhir. Ada yang menetap dan tinggal meskipun kasus ini tertimbun waktu dan dilupakan. Jejak digital. Itu bagai jejak kaki astronom tercetak di tanah bulan. Bukan jejak kaki di pasir pantai yang segera terhapus dijilat lidah air laut.

     Ajaib sekali bahwa hal-hal semacam tipuan atas kesadaran manusia, jejak digital, dunia maya sebagai keluarga besar, hingga identitas kolektif yang menelan individualisme dalam jaringan komunitas sekarang ini, sudah diprediksi jauh-jauh hari.

     Sejak dulu, setidaknya termaktub dalam legenda Yunani tentang komunitas bermediasi teknologi, adu kekuatan antara pemegang teguh budaya lama dan daya tarik teknologi terus berlangsung hingga sekarang. Seperti dinarasikan Postman dalam Technopoly (1993), Judgment of Thamus mengajarkan setiap budaya harus bernegosiasi dengan teknologi. Jika budaya bermakna sebagai "apapun yang dilakukan manusia dalam keseharian hidupnya", maka sang artis yang mendokumentasikan data digital perbuatan intimnya ada dalam posisi kalah. Bahkan tanpa negosiasi, kehilangan nalar bahwa data digital mudah disebar, sang artis bulat-bulat menyerahkan diri pada pesona teknologi.

     Dalam hal ini, mawas diri untuk tidak terjebak antara penggunaan dan penyalahgunaan teknologi, diperlukan secara niscaya. Teknologi komunikasi yang menawarkan kemanfaatan yang hampir tak terbatas, sekaligus juga bisa menjerat pengguna untuk terjerembab di jalan kekeliruan. Bagai pisau bermata dua. Juga, keduanya tidak bisa dipisahkan. Seperti dua sisi mata uang.

     Sensasi dunia maya memang menakjubkan. Karakteristik penghuninya dapat dianalogikan sebagai kerumunan orang yang terpesona daya pikat jalan-jalan umum pada pertengahan abad ke-19 di Eropa dan Rusia. Bermunculan dari berbagai sudut kota sebagai anonim. Dalam kerumunan mereka menemukan keramaian. Juga kebahagian yang dilandasi semangat satu kesatuan bersama orang lain dalam jumlah banyak. Identitas kolektif melenyapkan individu di situ. Kemudian terbitlah semacam manipulasi atas psikologi, yakni merasa saling mengenal satu sama lain. Baudelaire (1972) mendeskripsikan situasi demikian dengan kata-kata indah "kerumunan adalah wilayah kekuasaan, seperti udara bagi burung,  seperti air bagi ikan".

     Ekstase dunia maya muncul dari perasaan solidaritas semacam itu. Orang-orang saling terlibat, berinteraksi satu sama lain, memiliki satu perasaan bersama. Rekan dalam komunitas virtual, dengan demikian bisa saja diketahui tetapi tidak dijumpai sebagai sosok berfisik. Tanpa tubuh sama sekali.

     Dalam dunia maya, orang berkelindan bahkan dengan anggapan tak terlihat, menyembunyikan identitas sesungguhnya yang asli, berkomunikasi dengan pendekatan dramaturgi. Kita sesungguhnya berbaur dengan orang yang tidak dikenal.

Kesenangan mendokumentasikan aktivitas pribadi seperti yang dilakukan sang artis tadi bukanlah budaya banyak orang pada umumnya. Barangkali itu haknya, bukankah dalam hidup orang boleh memilih. Namun, di era serba digital dan kehadiran dunia maya yang tidak terhindarkan dalam hidup keseharian, diperlukan kecerdasan bernalar untuk memperhitungkan risiko. Sekali lagi, data digital mudah disebar dan meninggalkan jejak digital. Ekstase dunia maya sesungguhnya bukanlah menikmati euforia zaman yang tak terkendali tetapi justeru semacam kesadaran untuk mawas diri. Untuk menggunakan secara positif bukan menyalahgunakan. Untuk bernegosiasi bahkan dalam kondisi tertentu berkelahi melawan teknologi komunikasi.

     Karena dunia maya bukan surga.

Bogor, 13 Januari 2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun