Mohon tunggu...
Tasya Hadiastuti
Tasya Hadiastuti Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Mahasiswa

hanya ingin menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Konflik Rohingya di Myanmar

23 Desember 2022   12:36 Diperbarui: 23 Desember 2022   12:43 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perbedaan yang memiliki kaitannya dengan etnis ataupun agama termasuk salah satu pemicu adanya konflik-konflik yang terjadi di sekitar. Konflik-konflik tersebut terjadi merupakan masalah yang dapat menyebabkan adanya kekerasan di lingkungan sosial masyarakat dan dapat mengganggu stabilitas dan keteraturan struktur sosial di lingkungan masyarakat. Salah satunya yang terjadi adalah konflik Rohingya di Myanmar antara penduduk Islam dan penduduk Buddha yang berdampak besar pada etnis muslim Rohingya akibat keegoisan pemerintah Myanmar yang tidak mengakui etnis Rohingya di Myanmar sehingga terjadi pelanggaran HAM pada warga Rohingya. Akibatnya puluhan ribu warga Rohingya terlantarkan dan mengungsi ke negara lain, termasuk Indonesia.

Konflik panas di Myanmar melibatkan dua kelompok etnis, minoritas Rohingya dan mayoritas Rakhine. Dapat dikatakan bahwa konflik ini tidak terlepas dari faktor sejarah. Kata Rohingya berasal dari Rohang, nama lama negara bagian Arakan. Negara Bagian Rakhine dulunya pernah menjadi negara merdeka yang diperintah oleh umat Hindu, Buddha, dan Muslim secara bergantian. 

Pada tahun 1203 M, pengaruh Islam mulai masuk ke wilayah Rakhine. Pada akhir tahun 1440 M, Rakhine resmi menjadi negara Muslim. Dengan simbol "Perjanjian Yandabo", Myanmar, Rakhine dan Dena Sarin dimasukkan ke dalam wilayah tersebut. dari Inggris dan India. Kerajaan Muslim ada di Negara Bagian Rakhine selama 350 tahun, dan umat Islam hidup dalam damai.


Namun, pada tanggal 24 September 1784 M, Raja Burma Boddaw Paya menyerbu dan menguasai Negara Bagian Rakhine. 1824-1826 Perang Inggris-Burma pertama pecah. Perang berakhir pada 24 Februari 1426. Pada tahun 1935, diputuskan bahwa Myanmar akan memisahkan diri dari Inggris dan India, tepatnya sejak 1 April 1937, melalui keputusan tersebut, Rakhine juga digabungkan menjadi bagian dari Inggris dan Myanmar.

Tidak seperti kelompok etnis lain yang kewarganegaraannya diakui setidaknya oleh Myanmar, Rohingya dianggap sebagai penduduk sementara. Dianggap sebagai "orang asing" berarti Rohingya tidak diperbolehkan bekerja sebagai guru, perawat, pekerja layanan masyarakat atau pekerja layanan masyarakat, dan mereka dianggap tidak memiliki kewarganegaraan dan tidak diakui oleh pemerintah Myanmar.

Pengungsi Rohingya awalnya melarikan diri dari tanah air leluhur mereka untuk menghindari keterlibatan dalam operasi militer. Selama Perang Dunia II, wilayah Burma diduduki oleh Jepang selama hampir dua tahun. Saat Jepang pergi, pejuang Muslim Rohingya dari India memutuskan untuk menyerang daerah tersebut. Karena jumlah yang tidak mencukupi, mereka tidak berhasil; alih-alih bergabung dengan mereka, orang Thailand setempat membantu mereka dalam invasi ini. Setelah kampanye militer mendadak, sebagian besar Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh; mereka yang tetap menjadi sasaran operasi militer baru selama Perang Dunia III. Inilah pria yang akhirnya mengusir mereka dari tanah air mereka untuk selamanya.

Ada beberapa pemicu konflik tersebut yaitu pemerkosaan Ma Thida Htwe, gadis tukang jahit dari etnis Rakhine diperkosa kemudian ditikam sampai mati oleh tiga orang laki-laki dari etnis Rohingya. Aparat pemerintah Rakhine menahan ketiga pelaku tersebut secara tidak transparan sehingga memunculkan amarah dari kedua etnis tersebut. Lalu, Warga Rohingya Etnis Bengali tidak diakui sebagai penduduk asli Myanmar karena adanya UU Kewarganegaraan tahun 1982 yang menyebabkan nasib warga Rohingya penuh dengan penindasan dan ketidakpastian terhadap kehidupan mereka di Myanmar. Serta, adanya diskriminasi kebudayaan warga Rohingya oleh Pemerintahan Myanmar yang menyebabkan warga Rohingya diejek bahkan sebagai bagian dari kampanyenya melawan Rohingya, junta juga mempromosikan kampanye anti-Islam di antara komunitas Buddhis Rakhine dan penduduk Burma.

Pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI), Heru Susetyo, yang sejak tahun 2008 mendampingi dan meneliti warga Rohingya, menyebutkan tiga solusi untuk mengatasi tragedi kemanusiaan etnis Rohingya di Myanmar yang kembali terjadi.

Pertama, menghentikan kekerasan dan diskriminasi dalam segala bentuknya. 

Kedua, mengakui etnis Rohingya sebagai bagian dari Warga Negara Myanmar.

Ketiga, menegakkan hukum yang adil dan tegas bagi para penjahat kemanusiaan dan pelaku genosida, baik untuk tingkat nasional maupun mahkamah pidana internasional.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun