Kehidupan masyarakat disuatu daerah dalam berbagai sisi hidupnya semestinya dibutuhkan produktifitas agar dapat mengangkat kualitas kehidupan sosial yang lebih baik.
Pertanyaannya bagaimana mengukur produktif suatu profesi masyarakat?
Umpama seorang seniman seperti penyanyi dan pemain film, hingga dimana puncak klimaks profesinya atau puncak karirnya dalam aktivitasnya, lantas ia disebut seniman sukses?
Apakah setelah lancar membuat aktivitas, misalnya mengeluarkan lagu dalam setiap satu bulan, dua bulan atau setiap empat bulan atau setiap tahun. Berikutnya pemain film juga demikian, produktifitasnya diukur dengan keikutsertaannya dalam sejumlah film yang dikeluarkan setiap bulan, setiap dua bulan atau setiap tahun atau dianggap suskses setelah secara rutin mereka mampu melakukan produksi lagu atau film secara rutin dan semakin tingginya permintaan terhadap tampilnya sang seniman atau grubnya.
Indikator seorang seniman sukses sebenarnya ditentukan oleh faktor apa dalam pandangan masyarakat kita?
Apakah mereka dianggap sukses ketika menjadi anggota dewan atau menjadi gubernur atau menjadi menteri dan presiden. Berikutnya jika semua profesi dianggap sukses ketika mendapat jabatan sebagai pejabat politik maka sesungguhnya ada kelemahan dan kelebihan dalam sistem perpolitikan rakyat. Indikasi tersebut adalah kelemahan total dunia politik yang gagal membangun profesi politik sebagai profesi yang memuaskan rakyat dan dianggap berkualitas dan profesional dibidangnya.
Pertanyaannya apakah semua profesi dalam hidup rakyat dianggap berhasil ketika lintas profesi tersebut mendapat kepercayaan rakyat menjadi pejabat negara?
Menurut penulis, hal ini adalah pandangan keliru para pemilik profesi dan pandangan keliru yang menyebabkan rakyat disuatu daerah atau negara terpuruk dalam politik. Mengapa demikian?
Pertama, Menjadi pejabat publik sebagaimana anggota parlemen memang tidak tabu bahkan butuh lintas profesi sehingga pemerintahan cukup korperarif dalam melihat pembangunan rakyatnya. Maka ada diantara para profesi tersebut yang menjadi anggota parlemen disetiap negara bahkan mereka yang memiliki bakat dan kualitas justru menjadi presiden sebagaimana Ronald Reagen di Amerika Serikat. Tetapi tentu saja mereka berada dalam dunia politik bukan dalam waktu yang instan. Butuh pengalaman dan jam terbang yang cukup dan ilmu pengetahuan serta wawasan yang paripurna dalam politik dan kepemimpinan sosial.
Kedua, Arah pembangunan profesi sosial yang berakhir dengan jabatan dalam pemerintahan apalagi sebagai wakil rakyat adalah bentuk lain dari pembunuhan produktifitas masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh jika kita kembali pada profesi artis seperti penyannyi jika mereka tidak mengakhiri kesuksesannya dengan jabatan diparlemen maka produktifitasnya tetap lancar. Karena jika sebelum menjadi pejabat masyarakat bisa menikmati sepuluh albumnya dalam setahun maka setelah menjadi pejabat mungkin hanya satu album bahkan sama sekali tidak ada. Begitu pula pemain film jika sebelum menjabat mengeluarkan lima judul film dalam setahun, setelah jadi pejabat justru produktifitasnya hilang.
Ketiga, Kualitas mereka yang berprofesi sebagai seniman juga tidak menunjukkan keberhasilan berarti dalam politik terutama ketika mereka menjadi anggota parlemen. Tentu saja keterpilihan mereka lebih diakibatkan oleh popularitas mereka sebagai seniman atau dalam profesinya bukan sebagai ahli politik atau ahli bicara mewakili rakyat untuk pembangunan rakyat itu sendiri sebagaimana harapan kualifikasi legislatif atau legos dalam bahasa Yunani yang berarti bicara.