Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perempuan Kampung Jauh Lebih Kuat dari Lelaki

9 Maret 2021   13:39 Diperbarui: 20 Maret 2021   22:53 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Pixels

Begitu juga pekerjaan alamiah yang dimulai dengan melahirkan dan merawat calon pemimpin-pemimpin bangsa dari mereka bayi, mulai mengurus buang air besar dan air kecil secara rutin hingga mereka tumbuh sebagai remaja bahkan ada juga hingga mereka sudah dewasa usianya.

Kondisi kesehatan dan pengenalan pendidikan bahkan mulai mereka merangkak hingga berjalan adalah tanggung jawab perempuan dengan angka persentase yang fantastis atau mutlak. Sedikit peran suami dalam membimbing pertumbuhan anak. Maka setiap orang dibumi ini selalu saja dibesarkan dan berkembang dengan bahasa ibunya masing-masing dan bukan bahasa ayahnya.

Anak sendiri juga secara dominan akan memilih keberpihakan kepada ibunya jika membuat pilihan antara kedua orang tuanya, jika mereka diharuskan memilih.

Kehidupan rutin perempuan dalam rumah tangga hanya bisa dilakukan dengan tingkat kesabaran yang sangat tinggi. Jika lelaki diposisi ini penulis yakin hanya bisa dilakukan oleh para kaum lelaki yang jumlah dapat dihitung dengan jari.

Perempuan di akar rumput di negeri ini adalah penyabar yang sempurna, bahkan ia harus menerima dan menikmati hidup dalam kesabaran dimana pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang tidak habisnya. Jika kita ukur dengan nilai uang maka peran dan fungsinya tidak dapat diukur dan diberi batasan.

Bayangkanlah pekerjaan ekstra lainnya seperti harus mencuci pakaian anggota keluaranya yang sering menjadi tugas perempuan di kampung. Hal ini masih bisa disaksikan dalam kehidupan keluarga yang tidak asing masih berlaku. Padahal mencuci pakaian suami bukan sesuatu yang harus bagi kehidupan warga yang normal. Karena tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Demikian pula menyiapkan makanan bahkan memasaknya bukan kewajiban istri bagi kehidupan rumah tangga modern.

Tetapi hal ini masih merupakan pekerjaan utama bagi kaum istri atau kaum perempuan dalam keluarga tradisional terutama mereka yang hidup diwilayah pedesaan.

Fenomena ini sering tidak menjadi perhatian dalam kehidupan kita sehari-hari karena sudah menjadi kebiasaan sehingga tanggung jawab ini telah mendegradasi fungsi istri pada posisitioning dalam rumah tangga. Lihatlah bagaimana lampu di rumah kita yang sepanjang malam tidak pernah berhenti menyala. Kapan kita menyadari berharga hanya ketika listrik mati atau mengalami gangguan dan kesadaran kitapun baru tumbuh ketika lampu tersebut mati. Bahkan sebahagian masyarakat mencaci maki perusahaan listrik negara.

Uniknya perempuan tidak pernah menuntut ganti rugi atau biaya mereka melakukan pekerjaan rutinnya meski rumah tangganya terancam dan berhadapan dengan suaminya. Kebiasaan membebani istri dengan aktifitas pekerjaan rumah tangga yang telah menjadi biasa tersebut menyebabkan seseorang memandang istrinya sebagai kenyamanan suami dalam hidup, yakni minimal ada yang memasak dan mencuci pakaiannya. Pemahaman ini menjadi budaya dalam kehidupan warga masyarakat kita yang berlaku hingga hari ini dalam dominasi model tersebut.

Setiap hari lelaki keluar rumah dan menikmati kehidupannya secara bebas meski mereka dalam kapasitas pekerjaan untuk memperoleh pendapatan. Tetapi perempuan harus menerima terbelenggu dalam aktivitas dan pekerjaan rumah tangganya. Pernahkah kita berpikir tentang ketidakadilan antara kehidupan suami dan istri atau antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan kita?

Saya yakin sedikit warga masyarakat kita yang pandai merasa dan hanya membiarkan ketidakadilan ini sebagai bentuk keuntungan mutlak lelaki dalam rumah tangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun