Mungkin tulisan ini sedikit terlambat, tetapi setidaknya saya berusaha untuk menaruh rasa hormat kepada ibu-ibu di Kabupaten Rembang atas perjuangannya selama ini untuk menjaga ruang hidupnya, yaitu sawah dan sumber air dari kepentingan PT. Semen Indonesia. Secara domisili memang saya bukan orang Rembang, tetapi saya memiliki darah orang Rembang karena orang tua saya dari Rembang, bahkan lokasi tempat ibu-ibu berjuang tersebut tidak jauh dari rumah orang tua saya. Itulah kenapa saya merasa harus menaruh rasa hormat kepada ibu-ibu pejuang ini.
Perlu kita sadari bersama bahwa ruang hidup memiliki makna bagi setiap manusia yang tinggal di dalamnya. Di sanalah kita lahir, besar dan belajar untuk memahami dan mencintai ruang hidup kita. Kitalah yang paling paham bagaimana harus memperlakukan ruang hidup kita yang telah memberi kita banyak sekali manfaat bagi kita. Kita bisa makan, tidur dengan nyenyak, memiliki keluarga yang bahagia, berinteraksi dengan sesama yang begitu guyup dan damai merupakan manfaat yang diberikan oleh ruang hidup kita.
Apa yang dilakukan oleh ibu-ibu pejuang di Rembang tidak lebih adalah upaya untuk menjaga dan mempertahankan ruang hidup dari ancaman kerusakan dari pembangunan pabrik semen milik PT. Semen Indonesia. Apa yang dipertahankan oleh ibu-ibu pejuang tersebut? Yang dipertahankan adalah sumber produksi utama ibu-ibu pejuang tersebut, yaitu sawah karena mayoritas ibu-ibu pejuang ini bekerja sebagai petani, bahkan menurut cerita dari saudara-saudara saya, daerah tersebut merupakan daerah pertanian yang paling produktif di Rembang.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh perusahaan, dalam hal ini PT. Semen Indonesia, tidak jauh berbeda dengan hampir semua perusahaan ketika akan mendirikan pabrik-pabrik industri mereka. Iming-iming memberikan harga yang mahal untuk pembelian tanah para petani dan masyarakat agar proses pembangunan bisa segera berjalan. Apabila muncul penolakan dari masyarakat, maka taktik jaman kolonial Belanda selalu digunakan yaitu devide et impera(politik adu domba) yang mengakibatkan konflik sosial di masyarakat, padahal selama ini mereka hidup sangat guyup dan damai.
Pemangku kebijakan, dalam hal ini pemerintah, juga memiliki kecenderungan untuk memudahkan jalan bagi perusahaan dengan mudahnya mengeluarkan ijin dan mengesahkan Analisa Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL), yang sangat jarang sekali didiskusikan dengan masyarakat. Inilah kemudian yang selalu dijadikan tameng oleh perusahaan-perusahaan yang akan mendirikan pabrik industrinya.
Kenyataan seperti itulah yang memicu penolakan dari ibu-ibu pejuang Rembang karena beliau-beliau sangat sadar akan ancaman yang terjadi apabila pabrik semen berdiri, terutama terkait sumber utama produksi ibu-ibu pejuang tersebut. Perjuangan yang dilakukan dengan penuh pengorbanan semata-mata untuk menjaga ruang hidup ibu-ibu pejuang dari kerusakan lingkungan yang pasti terjadi saat pabrik semen dibangun dan beroperasi. Landasan lain bagi ibu-ibu pejuang ini untuk menjaga ruang hidupnya adalah karena ruang hidup ini tidak hanya akan bermanfaat bagi ibu-ibu pejuang dan keluarganya saat ini, tetapi juga bagi anak cucunya kelak. Ibu-ibu pejuang ini tidak menginginkan anak cucunya kelak tidak dapat lagi menikmati keindahan dan kesuburan ruang hidupnya yang telah diberikan oleh Tuhan YME.
Sekali lagi, hormat saya kepada ibu-ibu pejuang dari Rembang, serta untuk para pejuang-pejuang ruang hidup yang lain, tetap terus semangat berjuang. Perjuangan ibu-ibu Rembang bisa kita jadikan motivasi dan semangat bagi perjuangan kita. Meskipun saya sangat paham bagaimanapun pihak perusahaan tetap akan menggunakan apapun cara untuk mewujudkan kepentingan mereka, tetapi saya lebih sangat yakin bahwa ibu-ibu pejuang Rembang dan semua pihak yang telah membantu perjuangan ibu-ibu pejuang ini telah memiliki langkah-langkah untuk mempertahankan kemenangan yang penuh arti ini.