Sejarah selalu menjadi medan pertempuran antara fakta dan konstruksi. Sejarah tidak dapat dipahami sebagai hasil rekaman objektif dari masa lalu semata, melainkan sebagai konstruksi yang selalu berkaitan dengan relasi kekuasaan. Narasi tentang kerajaan-kerajaan di Nusantara yang hari ini dianggap sebagai warisan budaya sering kali diperlakukan sebagai sesuatu yang murni dan otentik. Akan tetapi, pembacaan kritis memperlihatkan bahwa apa yang disebut sebagai kerajaan maupun gelar kebangsawanan di Nusantara pada hakikatnya adalah produk rekayasa kolonial. Kolonialisme tidak sekadar menundukkan wilayah dengan kekuatan militer, melainkan juga menciptakan struktur sosial-politik yang memungkinkan berlangsungnya dominasi dalam jangka panjang.
Hampir semua negara yang menjalankan kolonialisme merupakan monarki. Kolonialisme, dengan demikian, adalah kelanjutan dari logika kerajaan: memperluas wilayah, mengakumulasi sumber daya, serta menundukkan masyarakat lain. Sejarah global mencatat Spanyol dan Portugal di Amerika Latin, Afrika, serta Asia; Belanda di Hindia Belanda, Suriname, dan Afrika Selatan; Inggris dengan jajahan di India, Australia, dan Amerika; Prancis di Kanada, Indochina, dan Afrika Barat; Belgia di Kongo; Italia di Afrika Utara; Jerman di Afrika Timur; dan Jepang di Korea serta Taiwan. Pola ini memperlihatkan bahwa kolonialisme tidak mungkin dilepaskan dari tradisi monarki-feodal.
Dalam kerangka Nusantara, apa yang disebut kerajaan lokal tidak pernah lahir murni dari dinamika masyarakat. Hampir semuanya merupakan hasil rekayasa, pengakuan, atau bahkan penciptaan kolonial. Kekuasaan Belanda membutuhkan unit-unit politik yang dapat berfungsi sebagai perantara untuk mengelola wilayah kepulauan yang luas. Kerajaan-kerajaan dipertahankan bukan karena orisinalitas tradisinya, melainkan karena fungsinya dalam sistem kolonial. Demikian pula gelar kebangsawanan yang dipandang sebagai warisan adat, pada kenyataannya dipelihara, dikuatkan, bahkan diproduksi ulang oleh kolonial demi kepentingan pengendalian rakyat.
Feodalisme menjadi perangkat utama kolonialisme. Definisi klasiknya merujuk pada sistem sosial-politik di mana segelintir elite menguasai mayoritas masyarakat melalui legitimasi tradisional maupun religius. Dalam praktik kolonial, feodalisme dijadikan instrumen untuk mengatur hubungan kuasa secara berlapis. Bangsawan dipertahankan sebagai simbol kekuasaan lokal, tetapi otoritas mereka hanya sah karena pengakuan kolonial. Rakyat dengan demikian tunduk dua kali: kepada bangsawan yang tampak berkuasa, dan kepada Belanda yang menopang posisi bangsawan tersebut.
Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat Bugis-Makassar, memberikan gambaran konkret mengenai fenomena ini. Belanda menjaga eksistensi bangsawan Bugis sebagai kelas penguasa lokal, sekaligus mengikat mereka dalam sistem zelfbestuur (pemerintahan sendiri) yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan kolonial. Gelar kebangsawanan seperti Andi, dipelihara agar rakyat percaya pada otoritas bangsawan, padahal legitimasi sesungguhnya berasal dari kontrak politik dengan kolonial. Tanpa pengakuan Belanda, gelar tersebut tidak memiliki kekuatan politik yang mengikat.
Christian Pelras dalam The Bugis (1996) menegaskan bahwa bangsawan Bugis tidak hanya dipertahankan, melainkan direkayasa ulang agar sesuai dengan kebutuhan Belanda. Peran utama mereka adalah memobilisasi rakyat, mengawasi produksi, dan menjaga ketertiban sosial demi kelancaran administrasi kolonial. John Crawfurd dalam History of the Indian Archipelago (1820) bahkan menyebut "kepala-kepala pribumi" di Sulawesi sebagai agen yang memastikan ketaatan rakyat kepada Belanda. Dengan demikian, struktur feodal yang disebut kerajaan Bugis sejatinya merupakan instrumen kolonial yang berfungsi memperantarai dominasi.
Selain administrasi, pengetahuan kolonial turut memperkuat konstruksi feodal. B.F. Matthes, seorang orientalis Belanda, menulis secara ekstensif tentang bahasa dan adat Bugis. Karya-karyanya menempatkan bangsawan sebagai pusat kebudayaan, sehingga memperkuat citra mereka sebagai representasi sah masyarakat Bugis. Produksi pengetahuan ini bukan sekadar etnografi, melainkan ideologi. Ia membunuh kemungkinan membaca masyarakat Bugis sebagai komunitas egaliter atau maritim yang dinamis, dan menggantinya dengan narasi kolonial tentang kerajaan. Fenomena ini sesuai dengan konsep epistemicide dari Boaventura de Sousa Santos: penghancuran pengetahuan alternatif untuk diganti dengan konstruksi kolonial.
Antonio Gramsci melalui gagasan hegemoni menunjukkan bahwa dominasi tidak hanya bertumpu pada kekerasan, tetapi juga pada konsensus sosial yang dilembagakan melalui budaya. Gelar kebangsawanan berfungsi sebagai perangkat hegemonik yang membuat rakyat percaya bahwa ketaatan pada bangsawan adalah adat. Padahal adat itu sudah diintervensi dan direkayasa oleh kolonial. Frantz Fanon, dalam The Wretched of the Earth (1961), menyoroti peran elite pribumi sebagai komprador kolonial, yakni kelas perantara yang mendapat privilese karena melanggengkan eksploitasi. Posisi bangsawan Bugis sepenuhnya sesuai dengan gambaran ini: mereka adalah agen penjajah yang diberi status untuk mengatur rakyat atas nama kolonial.
Tidak ada gelar kebangsawanan di Nusantara yang benar-benar berdiri sebagai tradisi murni. Semua gelar itu diikat pada kontrak politik, diberi legitimasi administratif, dan dimanfaatkan sebagai instrumen pengendalian. Bahkan ketika gelar kebangsawanan diwariskan turun-temurun, nilai politiknya tetap bergantung pada kolonial. Gelar Andi di Bugis, misalnya, tetap dipandang sakral hingga kini, tetapi maknanya telah lama terikat pada logika kolonial yang memperkuat kelas bangsawan sebagai perantara penjajahan.
Arsip Hindia Belanda memperlihatkan dengan jelas bagaimana kerajaan-kerajaan lokal ditempatkan dalam kerangka zelfbestuur. Mereka disebut menjalankan "pemerintahan sendiri", tetapi dalam kenyataannya seluruh kebijakan strategis ditentukan oleh kolonial. Raja atau bangsawan hanya menjalankan fungsi administratif sesuai kebutuhan Belanda. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan Nusantara tidak pernah memiliki kedaulatan sejati. Mereka adalah instrumen kolonial yang dibungkus dengan bahasa tradisi.