Mohon tunggu...
Tan Malako
Tan Malako Mohon Tunggu... Penganggur

Kaum rebahan. Suka bakso dan mie ayam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dunia dan Dunia-Duniaan: Antara World dan Word

4 Agustus 2025   03:49 Diperbarui: 4 Agustus 2025   03:49 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Real or Fake? (Sumber gambar: Pinterest) 

Kalau Anda merasa hidup ini penuh sandi, simbol, dan sinyal tak jelas—selamat, Anda sedang hidup di dua dunia sekaligus. Satu adalah dunia nyata yang bisa disentuh, dijilat, dicicil, dan dicicik; yang satu lagi adalah dunia-duniaan, alias dunia hasil konstruksi kata, simbol, warna, dan gestur yang sering kali lebih menentukan nasib kita dibanding harga cabai atau nilai tukar rupiah.

Mari kita mulai dari terminologi. Dalam bahasa Inggris, ada dua kata yang sering membuat lidah orang Indonesia tersesat di tengah pelafalan: world dan word. Yang satu berarti dunia, yang satu lagi berarti kata. Tapi dalam praktik sosial kita, keduanya tampaknya sudah teraduk dalam satu sup budaya yang gurih tapi membingungkan.

World adalah realitas yang kongkret. Ia terdiri dari rumah susun, polusi udara, jalanan berlubang, dan sinyal WiFi yang hilang mendadak saat zoom meeting. Dunia ini keras, kasar, dan tak mengenal basa-basi. Sementara itu, word adalah dunia simbolik. Ia hadir dalam bentuk kode rahasia, baju warna-warni, angka-angka genit, dan kata-kata yang hanya dipahami oleh mereka yang sudah “tahu dunia”—yang konon katanya lebih modern, lebih terbuka, lebih paham tren, meski belum tentu paham teori Problem of Induction..

Fenomena ini melahirkan sejenis masyarakat dualistik: mereka yang hidup di dunia (world) dan mereka yang hidup dalam kata-kata (word). Yang pertama mungkin kelihatan culun, polos, atau bahkan dibilang belum dewasa atau bahkan gila. Yang kedua tampak sophisticated, penuh gaya, dan kadang jadi selebgram. Tapi masalah muncul ketika yang hidup di dunia nyata mulai dipersekusi oleh mereka yang hanya paham dunia simbolik.

Di sinilah kita menyaksikan lahirnya inkuisisi gaya baru. Kalau zaman dulu orang diadili karena bid’ah atau dianggap menyimpang dari akidah resmi, kini seseorang bisa dijadikan bahan ghibah massal hanya karena tak paham warna baju tertentu, tak tahu makna angka “69”, atau gagal membalas kode tertentu dengan gaya bahasa sandi yang sama. Dunia word jadi alat seleksi sosial, bahkan alat penindasan kelas budaya.

Mereka yang tidak paham dunia kata—misalnya tidak tahu bahwa warna merah bisa berarti ‘terbuka untuk sesuatu’, atau bahwa kacamata adalah sinyal sosial tertentu—dianggap cupu, nggak gaul, bahkan dicap sebagai orang yang tidak ngerti hidup. Padahal hidup siapa? Hidup word, atau hidup world?

Fenomena ini juga menciptakan sistem moralitas baru. Bukan lagi soal benar atau salah, halal atau haram, tapi soal paham atau nggak paham dunia. Di sini muncul sebuah diktum: “Yang penting ngerti dunia.” Frasa ini jadi pembenar sekaligus alat legitimasi atas berbagai praktik sosial yang ambigu. Mau nyerempet? Yang penting ngerti dunia. Mau ngode? Yang penting kode diterima. Mau nyempet sesuatu? Asal tahu aturan main dalam dunia kata, semua jadi halal secara kultural.

Ironisnya, dunia word yang tampak bebas dan inklusif, justru sangat eksklusif dan kejam. Ia tak memberi ruang pada mereka yang jujur, lugu, atau baru belajar. Bahasa-bahasanya penuh jebakan. Simbol-simbolnya ambigu. Warna baju bisa mengandung makna ganda tergantung siapa yang melihat dan dalam konteks apa. Dunia word adalah realitas cair (liquid reality), meminjam istilah Zygmunt Bauman, tapi juga penuh ranjau tersembunyi.

Sementara itu, world sebagai realitas fisik malah semakin terpinggirkan. Urusan makan, kesehatan, pendidikan, bahkan spiritualitas kini dijajah oleh estetika dunia simbolik. Kita lebih peduli tampilan ibadah daripada substansinya. Lebih penting simbol doa di media sosial daripada benar-benar mendoakan. Dunia nyata hanya jadi latar belakang, sementara dunia simbolik mengambil alih panggung.

Tidak cukup sampai di situ. Dunia word juga sering dijadikan alat kontrol sosial. Dalam bahasa Foucault, ini adalah bentuk panopticon baru— di mana kontrol tak lagi bersifat fisik, melainkan simbolik. Mata masyarakat tidak lagi mengawasi perilaku, tapi membaca simbol: baju, status, bahasa, gaya komunikasi, bahkan angka plat motor. Ini adalah era surveillance gaya baru: penuh senyum, tanpa borgol, tapi menekan dengan sangat efektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun