Mohon tunggu...
Alif Utama Mahanani
Alif Utama Mahanani Mohon Tunggu... Guru Fisika SMA IT Ibnu Abbas Klaten

Saya sangat menyukai dunia pendidikan dan berfokus dalam pemahaman akan lingkungan dan perubahan iklim.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ekosistem Butuh Tim

6 Juli 2025   23:03 Diperbarui: 6 Juli 2025   23:03 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernah nggak sih mikir, kenapa urusan laut dan darat di Indonesia kayak proyek grup yang nggak pernah kelar? Yang satu fokus ke tambak, yang lain sibuk nanem mangrove, tapi pas banjir rob datang, semua saling nyalahin. "Itu bukan wilayah kerja saya," kata satu pihak. "Kami cuma ngurus sampai garis pantai," kata yang lain. Hasilnya? Ekosistem pesisir amburadul, masyarakat bingung, dan kebijakan seperti nasi goreng tanpa nasi: cuma asap doang. Indonesia jelas sedang punya PR besar. Kita punya 108 ribu kilometer garis pantai, 131 daerah aliran sungai besar, dan 327 kabupaten/kota pesisir. Tapi pengelolaannya masih kayak rebutan wilayah kekuasaan antar sektor. Dalam Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, semua narasumber kompak bilang: kalau lanskap darat dan laut terus dikelola secara terpisah, ya jangan harap ada masa depan ekologis yang sehat.

Yuliana Cahya Wulan dari GIZ, pengelola program SOLUSI, bilang dengan terang: "Yang kita butuhkan sekarang adalah integrasi, bukan sekadar koordinasi. Kita harus kerja bareng, bukan kerja berdampingan tanpa ngobrol." Kalimat itu relatable banget, apalagi kalau kamu pernah terlibat proyek kolaboratif yang isinya cuma grup WhatsApp dan laporan yang nggak dibaca siapa pun. Nah, solusi yang mulai muncul di banyak diskusi dan studi global bukan cuma soal teknologi atau regulasi. Namanya: ekologi kolaboratif (collaborative ecology). Konsep ini dibahas serius dalam tulisan Ostrom & Cox (2010) dan diperkuat dalam laporan IPBES (2022), di mana ekosistem tidak bisa diselamatkan oleh satu aktor saja. Harus ada keterlibatan lintas sektor, dari nelayan sampai data scientist, dari akademisi sampai desainer kebijakan, bahkan dari perusahaan sampai komunitas warga.

Bayangin pengelolaan ruang darat dan laut kayak proyek open-source raksasa. Semua pihak boleh ikut nyumbang. Ada yang ngoding skenario tata ruang, ada yang testing model pemulihan ekosistem, ada yang handle keamanan sosial ekonomi warga pesisir. Tapi semua pakai satu sistem kerja, satu dashboard data, dan satu tujuan: keberlanjutan. Konsep ini juga mulai dipakai dalam pendekatan "Nature-Based Solutions" (NbS) versi skala besar, seperti yang dijalankan oleh Uni Eropa lewat Horizon 2030. Mereka nggak cuma tanam pohon buat. Mereka bentuk tim lintas sektor: ahli biologi, urban planner, pengacara greenwashing lingkungan, hingga pegiat budaya lokal duduk satu meja, bahas satu ekosistem dari hulu ke hilir. Ini bukan sekadar teori. Dalam laporan McPhearson et al. (2021) di Nature Urban Sustainability, pendekatan kolaboratif terbukti mempercepat transisi adaptasi iklim secara signifikan.

Sayangnya di Indonesia, banyak proyek konservasi dan restorasi masih dipegang oleh aktor tunggal atau NGO yang belum sepenuhnya membuka ruang kolaborasi. Masyarakat sering ditempatkan sebagai "target kegiatan" alih-alih sebagai rekan kerja. Dosen jadi penyuluh, bukan partner riset. Pemerintah sibuk bikin zonasi, tapi lupa peta mereka beda dengan peta nelayan. Padahal kunci keberhasilan ada di komunikasi lintas batas, bukan di workshop tahunan yang isinya selfie dan banner. Bentuk paling aplikatif dari ekologi kolaboratif bisa dimulai dari pengelolaan data. Satu sistem data terbuka yang bisa dibaca semua pihak: dari dinas kehutanan sampai pelaku UMKM pesisir. Data DAS, kualitas air, arus laut, zonasi budidaya, indeks biodiversitas---semua di satu dashboard yang bisa dipakai bareng. Transparan, bisa diaudit publik, dan bisa dikembangkan lintas wilayah. Think: GitHub, tapi buat ekosistem.

Masih ingat cerita soal tambak udang super intensif di pesisir utara Jawa yang merusak hutan mangrove? Atau soal pembangunan pelabuhan baru yang memotong jalur migrasi penyu? Semua itu terjadi karena satu alasan: kita gagal bikin semua aktor duduk bareng dan mikir bareng. Kita masih kerja pakai spreadsheet masing-masing, bukan satu platform ekologi bersama. Dalam Forum Bumi, para narasumber juga menyinggung soal kapasitas daerah yang belum merata. Hasil kajian CDNA menunjukkan masih rendahnya skor kapasitas perencanaan terpadu di banyak wilayah percontohan, terutama dalam hal konservasi dan investasi inovatif. Solusinya? Jangan hanya tambah pelatihan. Buka akses untuk kolaborasi. Latih daerah untuk membangun ekosistem kerja lintas sektor, bukan sekadar kejar output pelatihan. Model seperti ini bukan tidak mungkin diterapkan. Di Norwegia, skema pengelolaan ekosistem laut berbasis kolaborasi lintas profesi telah berjalan lebih dari dua dekade. Di Kenya, model Coastal Resource Management Committees melibatkan warga, ilmuwan, dan pemda dalam satu sistem keputusan. Bahkan di Indonesia sendiri, ada inisiatif seperti POKJA DAS dan forum multipihak di DAS Serayu yang bisa jadi role model jika didukung dengan teknologi kolaboratif.

Kalau kita bicara tentang lanskap darat dan laut secara global, maka ekologi kolaboratif bisa jadi solusi lintas negara. Ekosistem tidak kenal batas administratif. Arus laut membawa mikroplastik dari Asia ke Pasifik. Awan membawa jejak karbon dari Kalimantan ke Manila. Maka yang kita butuhkan adalah sistem kerja ekologi yang juga lintas batas, baik batas profesi, lembaga, maupun negara. Bukan mustahil. Sudah banyak teknologi open-source untuk pemetaan spasial, seperti QGIS, Global Fishing Watch, atau OpenStreetMap, yang bisa diintegrasikan ke pengelolaan ruang darat-laut. Tinggal kita niatkan membangun struktur kerja yang tidak hanya efisien, tapi juga adil dan kolaboratif.

Jadi, kalau kamu lelah dengan proyek konservasi yang isinya cuma rapat dan laporan, mungkin saatnya kita geser pertanyaan dari "Siapa yang harus bertanggung jawab?" menjadi "Siapa lagi yang bisa kita libatkan?" Karena ekosistem tidak akan menunggu siapa yang paling pintar. Ekosistem hanya bisa bertahan kalau semua tangan bekerja, semua kepala berpikir, dan semua data dibuka. Mengelola alam bukan tentang siapa yang paling berkuasa. Ini tentang siapa yang paling bersedia bekerja sama. Alam tidak butuh pahlawan tunggal. Alam butuh tim kerja.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun