siapa lintasi kupu nya malam olesi pipi pipi orang tertidur dengan lumpur
Tak pernah ku pikirkan Saat-saat yang tak pernah ku inginkan
Aku mendatangi si kaya, Ternyata sedang menata dapurnya tanpa menu Sedangkan kamarnya berserakan berlian, semesta kemilau bertahta biru
Jika langit laksana kanvas penuh warna Ada abu yang meragu
Seperti senja yang datang sesaat lalu kembali ke peraduan dengan jejak keindahannya
kini kita hidup di zaman virtual kontekstual semuanya serba virtual yang sekuler juga yang sakral
mereka sama sama berteriak pada ombak panggili angin menatap pulau
Aku selalu terjaga, tak pernah dapat terlelap, itu karena Malam dengan pekatnya seringkali mengajakku berkelahi satu lawan satu
dicarinya sebutir pasir yang hilang seabad yang lalu pada pantai yang sama
mendirikan sebuah bangunan sunyi dalam hatiku.
Ketika aku bertandang ke rumahmu Masuk gang ke luar gang
Pada awalnya, titik rindu itu sebesar matahari. Lambat laun mengecil menjadi sebesar rumah.
maukah kau jadi pacar kubaca pesanmu di layar tak hanya ponselku yang bergetar namun jiwaku turut ikut berdebar
dalam hidup adakalanya kita memilih sejenak berhenti, ketika tangan dan kaki mulai terasa letih.
Sengatanmu sudah cukup, membawa Kematian. pelarian cerdik dari-Mu, keberaniannya
Biarkan hanya bunga yang layu kamu jangan sampai
Aku pecandu madu, rasanya sangat manis seperti cintaku padamu.
Pipi abu-abu semesta, sesaat merona. Tatkala pelangi berpura-pura ceria hingga melengkung sempurna di bibir senja yang selalu saja salah mengira.
Tinta telah habis Bulu pena rontok Terkikis waktu Janji setia Merangkai aksara