Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berhentilah dari Guru Honor, Jadi Penulis Saja

10 Agustus 2015   22:27 Diperbarui: 10 Agustus 2015   22:39 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari, Sabtu 8 Agustus 2015, di teras sekolah SMA Granada PGRI, Banda Aceh, penulis bertanya pada seorang guru honor alias honorer di sekolah itu. Pertanyaannya, berapa lama sudah menjadi guru honorer? Ia menjawab, sejak tahun 2007. Berarti sudah lebih dari 7 tahun menjadi guru honor dan hingga kini belum ada tanda-tanda ia akan diangkat menjadi guru PNS, seperti yang ia harapkan. Ia ternyata masih menjadi guru honor. Lalu, berapa lama lagi harus menjadi guru honor? Ia menjawab, ya belum tahu.

Nah, Siapakah sebenarnya yang mau menjadi guru honor, guru kontrak atau guru bakti dengan sistem yang ada di tanah air ini ?. Kiranya, menjadi guru honor, guru kontrak, maupun guru bakti bukanlah sebuah pilihan hati. Menjadi guru dengan status ini memang bukan sebuah panggilan hati, tetapi karena sebuah keterpaksaan. Ya, terpaksa menjadi guru honor, kontrak dan guru bakti karena sudah terlanjur memilih lembaga pendidikan guru seperti program Diploma kependidikan atau terlanjur menjadi sarjana pendidikan. Ketika sudah memiliki latar belakang pendidikan di lembaga LPTK, maka pilihan jalan tampaknya hanya menjadi guru, menjadi guru yang berstatus PNS, kalau ada lowongan, kalau tidak ya bergerilya mencari kerja sebagai guru honr, guru kontrak dan bahkan sebagai guru bakti. Selain itu, pada umumnya memang terpaksa menjadi guru, karena faktor ekonomi keluarga yang lemah yang tidak bisa memberikan alternatif meraih pendidikan pada bidang lain. Terpaksa menjadi guru, karena tidak mendapat pekerjaan pada sektor lain. Maka, jadilah guru yang berbakti seperti cerita Umar Bakri dalam lirik lagunya Iwan Fals sekian tahun lalu.

Ketika menjadi guru bukan karena pilihan hati, tetapi karena sebuah keterpaksaan, karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan, atau karena itulah pilihan yang ada akibat dari terlanjur memilih jalur pendidikan, maka bisa dipastikan bahwa menjadi guru honor, guru kontrak dan apalagi menjadi guru bakti, sang guru akan selalu merasa makan hati. Mengapa demikian, karena secara finansial, pekerjaan menjadi guru honor, guru kontrak atau guru bakti, selama bertahun-tahun lamanya, selama menjalani hidup sebagai guru honor, guru kontrak dan guru bakti, status ekonomi guru tersebut akan sangat morat-marit, ya akan selalu mengalami resesi ekonomi. Kemudian secara psikologi, jiwa akan hanya dihadapkan pada harapan-harapan yang belum berujung manis.

Dikatakan demikian karena dalam perjalanan sejarah guru di Indonesia, nasib guru honorer, guru kontrak dan guru bakti, melewati sebuah episode sejarah yang memilukan. Melelawati sebuah proses sejarah yang menjadi elegi. Karena dalam realitas yang ada, dalam konteks system, Guru yang berstatus non PNS (honorer, bantu dan kontrak) lahir sebagai akibat dari kesalahan system pendidikan di Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan guru terus melahirkan atau memproduksi calon-calon guru, sementara lowongan pekerjaan sebagai guru semakin berkurang. Ini adalah salah satu kesalahan itu. Akibat dari kesalahan itu guru non PNS ini mengalami perlakuan yang tidak layak. Misalnya saja, pembayaran honor yang tidak layak. Sudah tidak layak dari sudut jumlah. Dan ironisnya, sudah dibayar murah, sistem pembayaran gaji itu sendiri selalu saja ditahan-tahan, hingga berbulan-bulan lamanya, karena dibuat dalam bentuk rapel. Pemberlakuan cara ini, telah melahirkan sebuah penderitaan bagi para guru non PNS itu. Karena cara itu melahirkan penderitaan, maka wajar saja, kalau soal guru non PNS di Indonesia menjadi masalah yang selalu dibicarakan.

Buah Simalakama ?

Ada yang berpandangan bahwa nasib guru non PNS ini seperti memakan buah simalakama. Di satu sisi, menjadi guru honor dan guru bakti, bagi sebagian orang adalah sebagai pilihan hati, karena telah menjalani pendidikan sebagai calon guru. Apalagi di banyak tempat, masih sangat banyak sekolah yang kekurangan guru, maka peluang untuk menjadi guru masih terbuka, walaupun hanya sebagai guru honor dan guru bakti. Namun di sisi lain, menjadi guru honor dan guru banti tanpa ada batasan waktu, hanya akan melahir mengkristalnya harapan-harapan yang cendrung utopis, karena keinginan, ibarat kata pepatah, jauh panggang dar api. Harapan untuk kemudian diangkat menjadi guru yang berstatus PNS hanya membuat penantian semakin lama dan semakin tidak jelas.

Selain itu, ada kondisi yang kontradiktif yang dialami oleh guru honorer dan guru bakti di Indonesia selama ini. Di satu pihak, kehadiran guru non PNS sangat dibutuhkan karena dunia pendidikan kita yang kekurangan tenaga guru, dan pemerintah sendiri seperti memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah mengangkat guru. Di pihak lain, jumlah guru non PNS dari waktu ke waktu terus bertambah, karena tidak ada batasan yang jelas bagi mesin pendidikan guru untuk mencetak tenaga guru di lembaga pendidikan yang mencetak guru. Kondisi ini, menjadi bak buah simalakama. Banyak guru honorer dan guru bakti yang terus bertahan menjad guru honorer dan guru bakti, walau penghasilan tidak menjamin, Ingin mencari pekerjaan lain, tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk bisa melakukan pekerjaan lain Akibatnya, tidak memiliki sumber kehidupan, tidak memiliki ketrampilan lain kecuali menjadi guru dengan modal yang pas-pasan, memaksa mereka menjadi guru honorer. Kemiskinan ini menjadi sebuah potret tersendiri dari guru honorer dan guru bakti. Lalu mengapa terus bertahan dan memaksa diri menjadi guru honor dan guru bakti? Bukankah lebih baik banting setir, membelok dari kondisi buru itu dan mencari posisi yang lebih baik?

Kiranya, guru honorer, memang harus bisa melihat masa depannya dengan jelas. Guru honorer dan guru bakti harus lebih cerdas untuk memanfaatkan ilmu ( pentahaunan), ketrampilan dan usia mereka agar tidak tenggelam dalam penantian pengangkatan sebagai guru PNS. Apalagi masa-masa menjadi guru honor dan guru bakti tersebut sudah berkalanng tahun, ya mulailah membelokan biduk kehidupan itu ke banyak sektor lain. Dalam ungkapan yang lebih tegas, ya berhentilah menjadi guru honorer dan guru bakti itu. Pandanglah ke depan dam lihat, masih banyak jalan yang bisa ditempuh untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Misalnya mulai membuka usaha ekonomi, dengan menjadi pengusaha dalam skala kecil, bisa berjualan, dan juga bahkan membuat produk=produk yang bisa dijual kepada pasar. Kuncinya adalah pelajarilah, kalau tidak dengan mengikuti pelatiahn bisa membaca buku-buku terkait dengan strategi membuka bisnis, baik bisnis rumahan, maupun bisnis sektor informal lainnya. Pasti di sana banyak jalan untuk bisa membangun kehidupan yang lebih baik.

Menjadi Penulis

Banyak jalan ke Makkah, ya banyak pula jalan untuk mencari sumber ehidupan, kuncinya adalah mau. Selain dengan membuka usaha-kecil-kecilan, atau bisnis rumahan, masih banyak jalan lain yang bisa dikakukan oleh para guru honorer dan guru bakti yang sedang tak kunjung habis menanti masa pengangakatan menjadi guru negeri. Salah satu cara lain selaian yang disebutkan di atas adalah dengan melakukan aktivitas menulis. Bisa mencoba mengirimkan tulisan ke berbagai media, cetak seperti surat kabar, majalah dan juga media online yang kini ada di mana-mana. Harus difahami bahwa menulis juga sebuah ketramilan yang bernilai ekonomis. Menulis bisa menjadi lubuk rezeki. Cobalah menulis opini, cerpen, feature dan lainnya, lalu kirimkan ke media cetak, baik media lokal maupun media nasional, pasti akan mendapatkan rezeki yang secara jumlah, lebih besar dari hasil menjadi sebagai guru honor dan guru bakti tersebut. Bila kegiatan menulis ini ditekuni, misalnya menjadi penulis opini di surat kabar, seorang penulis bisa menghasilkan uang lumayan. Misalnya kalau bisa tembus menulis di harian Kompas, sati tulisan bisa mendpat imbalan lebih dari satu juta rupiah. Jumlah ini tentu lebih besar dari penghasilan sebulan dari aktivitas menjdi guru honor atau guru bakti. Tentu saja daam satu bulan, kita bisa menghasilkan lebih dari satu tulisan. Tulisan-tulisan tersebut kita kirimkan ke beberapa media, past hasilnya akan lebih menyenangkan. Bukan hanya keuntungan finansial yang didapat, tetapi ada keuntungan yang lebih bernilai di balik itu, karena ketika kita sudah dikenal banyak orang sebagai penulis, maka akan banyak jalan lain yang terbuka untuk bisa dilakukan. Misalnya akan diundang menjadi nara sumber atau pelatih untuk egiatan pelatihan menulis dan sebaganya. Nah, tunggu apa lagi? Mulailah menulis, lakukan terus dan jangan pernah putus asa. Baca cara-acara mengirimkan tulisan ke media. Pelajari dan bersegeralah mengirimkan karya ke media, atau mulailah menulis buku. Pasti banyak menuai keuntungan. Nggak percaya? Silakan dicoba. Gratis kok.

 Oleh Tabrani Yunis

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun