Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melihat "Suku" Minoritas di Jepang

5 April 2018   19:56 Diperbarui: 5 April 2018   22:14 3014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(nishimoto-osamu.com)

Salah satu yang dimiliki Indonesia tapi tidak dimiliki Jepang adalah keberagaman suku. Menurut data BPS, Indonesia memiliki kurang lebih 633 kelompok suku besar. Belum lagi kalau dihitung jumlah kelompok suku yang kecil. Jepang tidak banyak memiliki suku, karena selain suku mayoritas yaitu Yamato Minzoku, hanya ada beberapa suku minoritas misalnya suku yang berdiam di daerah Hokkaido, yaitu suku Ainu, suku Uilta, dan suku Nivk.

Tetapi disini saya tidak akan membicarakan suku secara etnologi, namun saya ingin menceritakan bagaimana "perilaku" orang yang tidak umum atau orang yang lebih suka memilih/melakukan sesuatu yang anti-mainstream, khususnya di Jepang. 

Karena jumlahnya sedikit, boleh kan saya kategorikan sebagai "suku" minoritas, sesuai juga dengan julukan di buku ini, yang juga menjadi referensi tulisan.

Dengan definisi itu, sebenarnya ada banyak orang yang bisa dikategorikan sebagai "suku" minoritas. Namun karena keterbatasan ruang dan waktu penulisan, yuk kita simak 5 saja dari "suku" minoritas ini.

Suku yang suka menenteng sendiri barang elektronik yang dibelinya (meskipun ukurannya segede gaban)
Jepang yang sudah dikenal sebagai penghasil barang-barang elektronik, produknya sangat digemari terutama di luar Jepang. Tapi jangan salah, selain masyarakat di seberang laut (luar Jepang), masyarakat Jepang sendiri gemar juga membeli barang-barang elektronik. 

Terlebih, karena sebagai produsen elektronik, tiap bulan, bahkan tiap minggu, selalu ada saja barang elektronik keluaran baru yang dirilis di pasaran dimana kemampuannya lebih baik dari barang yang sama yang telah diproduksi sebelumnya (dari produsen yang sama). Sudah pasti bagi yang nggak kuat "iman" nya, tentunya akan gatal untuk segera membeli dan mencobanya.

Jika kita membeli sesuatu, tentunya kita juga ingin langsung, misalnya membacanya jika kita beli buku, atau ingin segera memakannya jika yang kita beli adalah makanan.

Begitu juga kalau kita membeli barang elektronik, entah itu kamera, gawai atau apapun, tentunya kita ingin segera cepat sampai rumah (bahkan kalau bisa terbang atau teleporting langsung ke rumah..hehehe) untuk sesegera mungkin mencoba/memakainya.

Tidak ada pengecualian walaupun barang elektronik yang kita beli itu agak besar, misalnya printer atau scanner atau komputer desktop (mini atau full tower), tentunya kita juga segera mau bawa pulang untuk langsung memakainya. Meskipun umumnya ada layanan untuk mengantarkan barang yang kita beli, ke rumah.

Di Indonesia mungkin kita bisa membawa mobil sendiri atau naik taksi untuk membawa pulang barang tersebut. Di Jepang, kalau untuk membawa pulang sendiri, pilihannya bukan naik taksi karena ongkos taksi lumayan "mahal", tapi naik kereta atau bus merupakan pilihan yang paling logis dan praktis.

Saya pernah (walaupun tidak sering) melihat orang yang membawa kardus besar naik kereta pada saat jam-jam sibuk. Saya membayangkan bagaimana dia bisa menenteng kardus itu di antara orang yang lalu lalang dengan jalan cepat di stasiun, atau bagaimana dia naik turun kereta (walaupun orang-orang di sini sangat teratur dan disiplin dalam menggunakan moda transportasi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun