Mohon tunggu...
Humaniora

Wahabi Bukan Sunni ala Nusantara

13 Februari 2018   21:10 Diperbarui: 13 Februari 2018   21:10 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wahabi (Wahabiyyah/Wahabisme) memang mengacu pada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Tapi, aliran Islam---yang dipopulerkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1111-1206 H) dan hingga sekarang menjadi ideologi resmi Arab Saudi yang disebarkan hingga ke Indonesia--- itu bukanlah Sunni ala Nusantara. Dasar premis tersebut minimal ada dua, yaitu gagasan Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan dan gagasan Hadratusyekh KH. Hasyim Asy'ari.

Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan (1232-1303 H.) adalah guru ulama Nusantara. Muridnya tidak hanya para ulama dari kawasan yang kemudian disebut Indonesia, tapi juga para ulama dari kawasan Asia Tenggara. Beberapa murid Sayid Ahmad dari negeri ini antara lain: Syekh Nawawi Al-Bantani (Banten), Kyai Muhammad Saleh Darat (Semarang), Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (Padang), Sayyid Utsman bin Yahya al-Batawi (Jakarta), Syekh Abdul Hamid (Kudus), dan Kyai Khalil Bangkalan (Madura). Adapun muridnya dari negara jiran antara lain: Tuan Husein Kedah (Malaysia), Datuk Haji Ahmad (Brunei), Syekh Muhammad Al-Fathani (Filipina),  dan Syekh Utsman Sarawak (Malaysia).

Guru ulama Nusantara itu mengarang banyak buku di berbagai bidang, seperti tauhid, fikih, tasawuf, sejarah, politik, nahwu, dan balaghah. Salah satu bukunya berjudul  Ad-Durar as-Suniyyah f Radd 'al al-Wahabiyah. Buku tersebut terakhir jelas memberi batas pembeda antara Wahabi dan Sunni.

Distingsi tersebut tampak dari judul dan isinya. Judul buku tersebut bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia berarti Mutiara-Mutiara Sunni dalam Mengkritik Wahabi. Sesuai dengan judul tersebut, isinya pun tidak jauh dari kritik atas Wahabi dan dan pembelaan bagi Sunni.

Di satu sisi, Sayid Ahmad mengkritik Wahabi yang gemar mengkafirkan sesama muslim yang melakukan ziarah kubur, tahlilan, tawasul, maulid Nabi, dan tabarukan kepada orang saleh. Di sisi lain, Sayid Ahmad membela amaliyah muslim Sunni tersebut dengan dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah. Dengan demikian, guru ulama Nusantara yang menjadi mufti mazhab Syafi'i di Hijaz sebelum dikuasai Bani Saud itu menarik garis batas tegas antara Sunni dan Wahabi.

Hadratusyekh KH. Hasyim Asy'ari memang tak setegas Sayid Ahmad. Pendiri Nahdlatul Ulama itu tidak secara eksplisit menyatakan kritik atas Wahabi, tapi cukup mengungkap gagasan Sunni, melalui buku berjudul Rislah Ahli as-Sunnah wa al-Jma'ah.

Di buku tersebut, kakek Gus Dur (Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia keempat) itu membahas tentang sunnah dan bidah, yang selama ini menjadi wacana Wahabi untuk mengsegregasi umat Islam. Selain itu, pahlawan nasional itu pun menyebutkan bahwa Sunni alias Ahlu as-Sunnah wa al-Jama`ah (ASWAJA) ala Nusantara secara umum mengacu pada salah satu dari empat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i atau Hanbali). Namun secara khusus, ASWAJA ala Nusantara pada prakteknya berkiblat pada Asy-Syafi`i dalam hal fikih, Al-Asy`ari dalam hal tauhid, dan Al-Ghazali dalam tasawuf.

Tiga acuan khusus muslim Sunni Nusantara itu adalah tokoh-tokoh moderat. Fikih Syafi'i adalah penengah antara fikih rasional Hanafi dan fikih tradisional Maliki. Tauhid Asy'ari adalah penengah  antara tauhid rasional Mu`tazilah dan tauhid tradisional Hanbaliyah. Tasawuf Al-Ghazali adalah penengah antara wacana lahiriah dan wacana batiniah.

Karena mengacu pada gagasan-gagasan moderat, maka Sunni ala Nusantara pun bersikap moderat. Muslim Sunni Nusantara enggan terjerambat pada ekstremitas, selalu berupaya merangkul berbagai perbedaan, dan siap untuk bersatu dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan.

Apakah sikap moderat itu terdapat dalam Wahabi? Jika Wahabi justru menampakkan ekstremitas dalam beragama yang ditopang oleh klaim paling benar, maka Wahabi bukan Sunni Ala Nusantara, bahkan tidak cocok untuk Nusantara, yang sedari awal hingga sekarang berisi orang-orang yang beragam, yang dituntut untuk bertenggang rasa dan rukun dalam keragaman.[]

Sumber: syiarnusantara.id

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun