ByZainul Maarif
Saat ini, terutama di era penggunaan internet ini, banyak orang bodoh yang sok pintar; ada orang berilmu dan seharusnya diikuti, tapi justru dimaki; ada orang yang seharusnya tidak diikuti dan perlu dinasehati, meski berilmu, tapi justru dibela dan puji. Di kondisi seperti ini, kuadran Imam Al-Ghazali tentang orang tahu dan orang tidak tahu, perlu dijadikan pedoman.
Di kitab Ihya' `Ulmiddn, Abu Hamid Al-Ghazali mencatat kuadran, yang sejatinya pendapat Al-Khalil ibn Ahmad, itu di pembahasan tentang ulama baik dan ulama buruk. Ungkapan Al-Khalil ibn Ahmad itu dicatat oleh Imam Al-Ghazali sebagai berikut:
: , , ,Â
Secara literal, kata "rajul/rijl" berarti laki-laki. Namun sifat-sifat yang dilekatkan pada "rajul/rijl" di kalimat di atas dapat terwujud pada perempuan juga. Maka, alih-alih menerjemahkan "rajul/rijl" dengan "laki-laki", tulisan ini lebih memilih untuk mengindonesiakannya dengan "manusia atau orang", supaya bisa mencakup pria, wanita dan yang di antara keduanya.
Dengan demikian, terjemahan atas teks yang terdapat di halaman 80, jilid pertama kitab Ihy' `Ulmiddn, karya Abu Hamid Al-Ghazali, terbitan Darul Fikr, Beirut, tahun 1995 itu sebagai berikut:
Manusia itu ada empat (tipe). (Pertama), manusia yang tahu dan tahu bahwa dia tahu. Itu orang berilmu, maka ikutilah dia! (Kedua), manusia yang tahu dan tidak tahu bahwa dirinya tahu. Itu orang yang tidur, maka bangunkanlah dia! (Ketiga), manusia yang tidak tahu dan tahu bahwa dia tidak tahu. Itu pencari petunjuk, maka berilah dia petunjuk! (Keempat), manusia yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Itu orang dungu, maka tolaklah dia!
Tipe pertama adalah tipe ideal orang berilmu, yaitu menyadari dirinya mengetahui dan mengamalkan ilmu pengetahuannya. Misalnya orang berilmu itu tahu bahwa "Islm" itu serumpun dengan "salm" yang berarti damai. Kemudian, dia berupaya untuk bersikap santun, merangkul semua pihak, dan menebarkan kasih kepada para penghuni bumi. Ketika dimusuhi dan dimaki pun, orang berilmu tersebut memaafkan pihak yang memusuhi dan memakinya. Orang berilmu semacam itulah yang termasuk ulama yang patut diikuti.
Tipe kedua bukan tipe ideal orang berilmu. Orang model kedua itu sebenarnya berilmu. Tapi dia tidak benar-benar menerapkan ilmunya dengan baik. Misalnya dia tahu bahwa "Allhu Akbar" berarti Allah Maha Besar. Seharusnya dia sadar bahwa hanya Allah yang Maha Besar. Selain Allah, termasuk pengucap kalimat takbir "Allhu Akbar", itu kecil. Sebagaimana di shalat, sepatutnya pengucap  "Allhu Akbar" mengucapkan kata-kata baik, bertindak tertib, penuh kerendahhatian (sebagaimana tercermin dalam rukuk dan sujud), berhati teduh, berpikiran jernih dan menebar damai usai mengeratkan hubungan dengan Allah (sebagaimana tampak pada gerakan dan ucapan salm di akhir shalat).
Namun, karena tidak sadar bahwa dirinya tahu, maka orang berilmu itu, justru berkata dan bertindak  buruk usai mengucap takbir "Allhu Akbar". Pikiran dan hatinya pun terkesan keruh. Kekacauan yang ditimbulkannya. Permusuhan ke kanan dan ke kiri yang ditampakkannya. Orang yang berilmu semacam itu, menurut catatan di Ihya' tersebut adalah orang yang sedang tidur.
Dia perlu disadarkan. Karena dia berilmu, tentu penyadarannya pun harus dengan ilmu juga: baik dengan perdebatan yang baik maupun dengan pernyataan bijak yang mengarah ke hakikat. Perlu waktu untuk menyadarkan orang tipe kedua ini. Tapi ada kalanya dia sadar sendiri setelah merenung dan mendapat petunjuk Ilahi.