Mohon tunggu...
Humaniora

Palestina, antara Gus Dur, Gus Mus dan Ulil

12 Desember 2017   13:24 Diperbarui: 12 Desember 2017   13:30 1235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ByZainul Maarif

Ada tanda-tanda di perhelatan "Doa untuk Palestina" di Taman Ismail Marzuki (TIM, Jakarta) pada tanggal 24 Agustus 2017 yang mengulangi acara serupa di tempat yang sama di tahun 1982 dengan tema "Malam Palestina". Pada tanda-tanda itu, penanda (signifier: sesuatu yang menandai sesuatu yang lain) dan petanda (signified: sesuatu yang ditandai sesuatu yang lain) mengemuka.

Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur adalah penyelenggara event "Malam Palestina" tahun 1982. Kala itu, cucu pendiri Nahdlatul Ulama' (NU) itu tak hanya menjabat sebagai ketua PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), tapi juga sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang meminta Musthafa Bisri, alias Gus Mus, membacakan puisi tentang Palestina dalam bahasa Arab.
Di acara "Doa untuk Palestina" tahun 2017, Gus Mus yang menjadi tokoh utama. Sastrawan sekaligus kyai NU karismatik itu tidak hanya menampilkan para penyair, tapi juga tokoh publik non sastrawan untuk melantun puisi tentang tanah yang masih dijajah di Timur Tengah itu.

Salah seorang publik figur yang mendendangkan puisi di "Doa untuk Palestina" itu adalah Ulil Abshar Abdalla. Menantu Gus Mus, yang lebih dikenal sebagai pemikir NU itu, menyuarakan sajak berbahasa Arab mengenai Palestina.

Ada semacam penyerahan tongkat estafet dalam dua fenomena itu. Gus Dur memberi panggung untuk Gus Mus. Lalu, Gus Mus menyerahkan tugasnya dari Gus Dur dulu kepada Ulil.

Tongkat estafet itu secara eksplisit adalah pembacaan puisi berbahasa Arab tentang Palestina. Puisi itu menandai doa dan solidaritas, sementara Arab Palestina menandai manusia-manusia yang lemah, terjajah dan tertindas (mustadzh`afn).
Sejauh tongkat estafet itu bermula dari Gus Dur yang secara geneologis dan ideologis adalah santri dan kyai NU, maka pembacaan puisi Palestina oleh Gus Mus kemudian oleh Ulil itu merupakan seruan untuk semua kyai dan santri NU berempati bahkan berjuang untuk kaum mustadh`afn.

Nahdlatul Ulama' merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia, sementara Indonesia dimayoritasi oleh umat Islam. Mendorong orang-orang NU membela masyarakat lemah, dengan begitu, mendorong mayoritas bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia beraneka ragam. Oleh karena itu, Gus Dur kemudian Gus Mus tidak hanya melibatkan orang-orang NU. Orang-orang dari lintas suku, agama, ras dan budaya (SARA) diturutsertakan dan diundang juga supaya seruan empati pada yang tersakiti menasional.

Pada momen Gus Dur kemudian Gus Mus melibatkan orang-orang Indonesia dari beragam latarbelakang, dua tokoh sentral NU itu sedang melaksanakan prinsip ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sebangsa). Ketika kyai-kyai NU itu mendorong semua elemen bangsa berdoa dan berjuang untuk keterlepasan Palestina dari kondisi kelam, mereka sedang mempraktekkan prinsip ukhuwwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia).

Prinsip terakhir itulah pendorong Gus Dur, Gus Mus dan Ulil memperhatikan Palestina. Yang didoakan bukan Palestina sebagai saudara seagama, melainkan sebagai saudara sesama manusia yang sampai saat ini belum bebas dan harus dibebaskan.

Di ranah itu, tiga tokoh NU itu menunjukkan dua hal. Pertama, pemerhati kebebasan Palestina tidak hanya muslim-muslim garis keras, tapi juga muslim-muslim tradisionalis, nasionalis, pluralis bahkan liberalis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun