Mohon tunggu...
Humaniora

Untuk Palestina, Gus Mus, Puisi, dan Perlawanan

12 Desember 2017   08:09 Diperbarui: 12 Desember 2017   08:57 2237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

By Husein Ja'far Al Hadar


24 Agustus malam kemarin, malam Jum'at, Gus Mus dan kawan-kawannya berpuisi di Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini, Jakarta dalam tajuk "Doa untuk Palestina". Tentu, maksud Gus Mus dan kawan-kawan adalah bersolidaritas untuk rakyat Palestina yang hingga kini masih terjajah di Tanah Airnya sendiri oleh Zionisme Israel yang berdiri di atas rasisme superioritas Yahudi dan mitos bahwa Palestina adalah "Tanah yang Dijanjikan".
Bangsa ini memang sangat "dekat" dengan bangsa Palestina. Karenanya, solidaritas itu bukan hanya ekspresi kemanusiaan dan keislaman (ukhuwah islamiyah), tapi juga lantaran kedekatan itu. Kedekatan yang dimaksud adalah bahwa Palestina adalah bangsa pertama yang mengakui "Kemerdekaan Indonesia" setelah dideklarasikan pada 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, dipilihnya bulan Agustus dalam acara solidaritas untuk Palestina oleh Gus Mus dan kawan-kawan bisa jadi lantaran konteks sejarah tersebut. 72 tahun setelah kita merdeka, Palestina justru masih terjajah. Ditambah lagi, dalam Pembukaan UUD 1945, kita telah berjanji untuk menghapus segala bentuk penjajahan di dunia karena tak berperikemanusiaan dan tak berperikeadilan. (Baca: "6 Alasan Mengapa Kita Wajib Dukung Palestina")

"Kedekatan" itu yang kemudian direkam oleh penyair Taufik Ismail dalam gubahan puisinya berjudul "Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu". Ia menulis:

Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer
dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir
dan batu bata dinding kamartidurku bertebaran
di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan
mengepulkan debu yang berdarah.
...

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometer, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terdengar di telingaku.

Namun, yang sering ada di sebagian kita dan biasanya terekspresikan di media sosial misalnya, adalah mereka yang menganggap jauh-dekat adalah soal jarak geografis. Mereka kadang mengeluh pada kita lantaran seolah kita fokus pada yang jauh di Palestina, padahal banyak saudara kita yang dekat di sini juga butuh bantuan. Ada juga di media sosial yang meminta Gus Mus dan kawan-kawan juga memperhatikan suku Kurdi di Irak yang juga terdiskriminasi. 

Maka, sesungguhnya, "Doa untuk Palestina" semacam simbolis semata. Pada hakikatnya, acara itu adalah doa untuk siapa saja yang tertindas di muka bumi ini: di sini atau 'pun di sana. Palestina dipilih, selain karena momentum, juga lantaran bangsa itu adalah simbol keterjajahan yang bisa jadi paling gamblang saat ini: Palestina satu-satunya bangsa yang masih terjajah di abad ini. Karenanya ia dijadikan simbol perlawanan pada segala penjajahan dan diskriminasi. Dalam momentum lain, ketika warga Kendeng melawan penindasan oleh pabrik semen, Gus Mus juga mendoakan, bersuara, dan mendukung perlawanan mereka terhadap ketertindasannya.

Lalu, mengapa doa? Bukankah Palestina butuh aksi nyata? Dalam poin ini, kita juga kadang salah karena menganggap yang nyata hanyalah yang fisik. Padahal, dalam Islam, selain tentu yang fisik, usaha juga bisa berbentuk --dan memang wajib dibarengi- doa. Al-Quran dalam beberapa ayat --misalnya: QS. Ali-mran: 124-125, QS. An-Nasr, QS. Al-Anfal: 9, dll, mengabadikan tentang bagaimana umat Islam menang dalam peperangan --salah satunya dalam Perang Badar, perang pertama dalam Islam- lantaran kekuatan dari Allah yang dimohonkan oleh Nabi Muhammad dan umat Islam saat itu melalui panjatan doa.

Juga, mengapa puisi? Tentu, salah satunya karena Gus Mus dan kawan-kawannya itu rata-rata adalah budayawan yang "senjatanya" memang adalah puisi. Gus Mus sendiri pertama kali berpuisi memang tentang Palestina pada "Malam Palestina" di TIM pada 1982 berdasarkan permintaan Gus Dur yang kala itu menjadi Ketua Dewan Kebudayaan Jakarta (DKJ).

Selain itu, puisi, dalam sejarah Islam di Indonesia, terlebih di Arab, memiliki daya tersendiri untuk memicu dan membangkitkan semangat heroik melawan segala bentuk penjajahan. Dalam sejarah Islam di Aceh misalnya, dikenal "Hikayat Perang Sabil" yang merupakan sebuah syair kepahlawanan yang membentuk suatu irama dan nada heroik yang mampu membangkitkan semangat jihad para pejuang Aceh ratusan tahun lamanya, dari zaman kolonialisme Portugis hingga zaman penjajahan Belanda, dan setelahnya. 

Sehingga Zentgraff dalam karyanya berjudul "Atjeh" (1983) merekam banyaknya pemuda yang memantapkan langkahnya ke medan perang karena pengaruh Hikayat Perang Sabil. Menurut Zentgraf, Hikayat Perang Sabil telah menjadi momok yang sangat ditakuti oleh Belanda, sehingga siapa saja yang diketahui menyimpan atau membacanya akan mendapatkan hukuman dari pemerintah Hindia Belanda dengan membuangnya ke Papua atau Nusa Kambangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun