Mohon tunggu...
Humaniora

Islam, Celaan, dan Sikap Kita

23 November 2017   19:39 Diperbarui: 23 November 2017   19:45 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik." (Al-Muzzamil 10)

Al-Qur'an mengajarkan kita dalam menyikapi kata-kata yang buruk berupa hinaan, cacian, dan lain-lain dengan tak meladeninya. Allah mengajarkan agar kita bersabar, lalu berpaling darinya. Berpalingnya 'pun ditekankan dalam ayat di atas yakni dengan cara yang baik, bukan dengan adanya unsur menghina atau melecehkan. 

Bahkan, sebagaimana diteladankan Nabi atas ejekan penduduk Thaif, beliau masih mendoakan mereka, persis seperti yang dilakukan cucunya yang bernama Muhammad Al-Baqir sebagaimana telah ditulis dalam artikel sebelumnya berjudul "Pesan Qur'an: Balaslah Ejekan dengan Ajakan". Maka, lihatlah betapa agungnya Allah menghendaki atas kita akhlak yang baik bahkan kepada pengejek maupun musuh kita.

Selanjutnya, dalam ayat yang lain, yakni QS. Al-Qashas: 55, Allah menjelaskan bahwa perkataan buruk: hinaan, celaan, dan lain-lain hanya muncul dari orang-orang yang bodoh: meski ia berpengetahuan, namun dalam terminologi Al-Qur'an tetaplah bodoh. Atau, bisa jadi ia bukan orang bodoh, namun ketika berkata buruk maka ia sedang melakukan kebodohan.

Seperti telah dikemukakan dalam artikel sebelumnya yang berjudul "Pesan Qur'an: Balaslah Ejekan dengan Ajakan",ejekan atau cacian muncul dari kelemahan untuk menjawab argumen lawan dialog. Seorang yang pintar, takkan muncul dari lisannya kecuali perkataan yang cerdas dan bijak. Ia tak pernah kehabisan kata-kata dalam berargumen atau menasehati, sebagaimana tak terbatasnya ayat-ayat Allah untuk dijabarkan meskipun lautan jati tintanya dan pepohonan jadi penanya.

Oleh karena itu, ketika Jibril datang menawarkan untuk membinasakan orang Thaif yang mencela Nabi, Nabi menolaknya dengan menjawab bahwa sesungguhnya mereka orang-orang yang tidak tahu. Selanjutnya, sebagaimana seharusnya menjadi sifat bagi setiap tokoh Islam, Nabi terus memupuk optimisme dalam berdakwah, terhadap orang yang seburuk apapun, seperti yang ditemuinya di Thaif. 

Karena itu, beliau berdoa agar generasi selanjutnya dari para penghinanya di Thaif itu menjadi orang-orang yang mengikuti ajaran Islam. Artinya, di tengah keburukan seseorang, Nabi terus mencari kebaikannya. Bukan sebaliknya: dalam setiap kebaikan, kita mencari-cari keburukannya untuk dicela.

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang buruk, mereka berpaling darinya dan berkata, "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, salam bagimu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh."

Dan memang, kepada orang-orang bodoh, sebagaimana kata pepatah Arab, sebaik-baiknya jawaban dan sikap adalah diam: "Tak menjawab seorang yang bodoh itu adalah sebuah jawaban."Mengapa? Sebab, apapun jawaban yang kita berikan, sebenar dan seberkualitas apapun, mereka takkan menerimanya, atau malah untuk sekadar memahaminya 'pun tak mampu. 

Nabi Isa pernah bersabda tentang orang dungu: "Aku diberi kemampuan oleh Allah untuk menyembuhkan orang yang sakit belang dan buta. Bahkan aku bisa menghidupkan orang mati atas izin Allah. Tapi aku tak pernah mampu mengobati orang dungu."

Sumber: Syiarnusantara.id

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun