Mohon tunggu...
Syekh Muchammad Arif
Syekh Muchammad Arif Mohon Tunggu... Konsultan - Menawarkan Wacana dan Gagasan Segar sertaUniversal

syekh muhammad arif adalah motivator dan bergerak di bidang konsultasi pendidikan dan pemerhati sosial dan keagamaan universal

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Indonesia: Antara Apa Adanya dan Apa yang Seharusnya Ada (Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

11 Desember 2019   12:58 Diperbarui: 11 Desember 2019   13:51 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keempat, yang harus ada pada sekolah adalah keharmonisan antara pendidikan sekolah dan pendidikan keluarga (rumah/orangtua). Sebagian besar pengalaman dan perilaku anak meniru orangtua dan guru-gurunya. Sehingga di sini tampak betapa pentingnya keharmonisan dan kesesuaian antara keteladanan yang didapatkan anak di rumah dan keteladanan di sekolah. Dengan kata lain, sesuatu yang dipelajari siswa di sekolah harus dilihatnya secara praktis di rumah. Demikian juga perilaku kedua orangtua di rumah harus memperkuat apa yang diajarkan di sekolah. Sebab,bila siswa melihat kontradiksi antara figur teladan di rumah dan sekolah tentu ia akan mengalami keraguan dan kebingungan sehingga ia tidak dapat memilih mana teladan yang mesti diikutinya. Dualisme keteladanan di rumah dan sekolah ini akan mengundang suasana psikologis terburuk pada anak,sehingga ia menderita instabilitas psikilogis dan tidak mampu mengambil keputusan secara baik dan benar. Dan pada gilirannya, anak tidak menaruh rasa percaya lagi kepada dua figur teladan (orangtua dan guru) dan mungkin saja ia mengambil jalan yang berseberangan dengan aturan sekolah dan rumah atau karena kontradiksi dua figur ini, anak menunjukkan kepribadian ganda alias palsu.

Pendidikan keluarga/rumah memberi perhatian besar pada pertumbuhan fisik/jasmani, psikologis dan perasaan anak, sedangkan sekolah lebih memusatkan perhatian pada perkembangan rasio dan sosial. Dengan adanya keharmonisan antara program pendidikan sekolah dan pendidikan keluarga akan menciptakan anak yang berkepribadian seimbang/proporsional sehingga ia dapat hidup di tengah masyarakat dengan penuh rasa percaya diri dan tekad yang kuat.

Untuk memenuhi keharmonisan pendidikan keluarga dan sekolah maka di awal pendaftaran siswa, sekolah mengharuskan orangtua atau wali siswa untuk mengikuti program sosialisasi metode dan dasar-dasar pendidikan sekolah yang diadakan dalam rangka menciptakan keharmonisan pendidikan keluarga dan sekolah, sehingga aturan dan pendidikan sekolah sama dengan yang diterapkan di rumah. Sebagai contoh, bila sekolah menerapkan ketidakbolehan pengunaan hukuman fisik (seperti memukul, menjewer, mencubit dan lain-lain) maka oranngtua atau wali siswa harus menyesuaikan diri dengan pendekatan pendidikan di sekolah ini dan menghindari hukuman fisik untuk mengatasi ketidakpatuhan anak. Atau contoh kekerasan verbal, bila sekolah "mengharamkan" penggunaan cacian dan perendahan diri/hinaan (seperti menyebut binatang tertentu yang ditujukan kepada anak atau menyebut kata "goblok") maka lingkungan rumah harus juga "steril" dari umpatan dan makian semacam ini. Jadi, keharmonisan pendidikan keluarga dan sekolah akan sangat membantu perkembangan pendidikan siswa secara baik dan benar.

Pertanyaan penting untuk Mendikbud adalah, apa langkah dan strategi yang telah dan akan dipersiapkannya untuk mengharmoniskan pendidikan rumah dan sekolah? Apakah hal ini sudah dipikirkan dengan serius oleh beliau? Ataukah hal ini tidak dianggap terlalu penting? Apakah pendidikan keluarga masuk dalam domain Mendikbud atau tanggung jawab lembaga dan intutusi yang lain?

Kelima, kenyamanan dan kebahagiaan. Sekolah adalah rumah kedua bagi siswa. Oleh karena itu, sekolah harus di-setting dan didesain semenarik mungkin dan kekurangan fisik atau bangunan paling tidak diatasi dengan keceriaan, keakraban dan keramahan serta humor para gurunya. Guru yang terlalu serius dan kaku serta mahal senyum pasti akan "menyiksa" siswa-siswinya dan belajar satu jam dengan guru seperti ini terasa berjam-jam dan tidak ada kenikmatan memandang wajah guru seperti ini, sehingga siswa lebih senang memandang jam dinding dan tidak ada yang lebih menggembirakannya kecuali saat berakhirnya jam belajar.

Setiap sekolah harus berupaya memiliki guru yang humoris yang bisa mengubah suasana kelas dengan kelucuannya. Guru humoris ini bisa menjadi ikon sekolah, utamanya sekolah SD atau yang sejajar dengannya. Sebab, usia belajar di masa SD adalah usia yang identik dengan permainan, keceriaan, dan kejenakaan. Setiap guru SD harus belajar dan berusaha---dengan tetap mempertahankan gayanya masing-masing---melucu baik di awal pelajaran maupun di akhirnya. Guru harus sadar bahwa membuat siswa tersenyum adalah salah satu ibadah terbaik. Sebaliknya, salah satu dosa terburuk adalah membuat siswa-siswi menangis dan sedih. Ya, bila anak sering mendapatkan senyum di sekolah maka ia akan menjadi anak yang sehat dan semangat belajar. Bahkan bila anak jarang atau tidak pernah mendapatkan senyum di rumahnya, ia masih berharap mendapatkan rentetan senyum di sekolah. Tapi bila di sekolah ia tidak bisa tersenyum dan di rumah justru ia sering menangis, maka ke mana anak yang "lapar" kasih sayang ini "membeli" senyuman?! Mungkin ada orang jahat yang "menjual" senyuman palsu untuknya lalu ia terjerumus dalam dosa dan kejahatan? Siapa yang salah sejatinya? Sekolah dan rumah yang masing-masing gagal menghadirkan "senyuman murah" untuk anak yang malang ini. Sa'di berkata: On holidays, the melody of love would bring the run-away kid to school (Meskipun hari libur, melodi cinta akan membawa anak yang melarikan diri mau datang ke sekolah). Bila melodi cinta ditabuh dan dinyayikan di suatu sekolah maka anak yang melarikan diri dari rumah: anak yang tidak terurus, anak jalanan, anak putus sekolah, anak gelandangan, anak siapapun dan dalam kondisi apapun akan merengek ke sekolah, bahkan di hari libur ia merindukan untuk tetap sekolah. Inilah rahasia the power of love.

Bila Mendikbud Bapak Nadiem Makarim menginginkan guru berani melakukan perubahan kecil dengan mengubah suasana kelas dengan diskusi dan mendorong siswa untuk berinovasi (memberi kesempatan siswa untuk mengajar di kelas), saya menyarankan perubahan yang sangat sederhana tapi menyenangkan yang dimulai dari guru, yaitu mulailah mengajar dengan senyuman! Bukankah seorang guru harus memulai pembelajaran dengan menyebut asma Tuhan? Tahukah Anda bahwa asma Tuhan yang teragung adalah Mahacinta (Pengasih dan Penyayang)? Senyuman Anda wahai guru berarti Anda menghadirkan asma Mahacinta itu dalam proses belajar mengajar. Apakah diskusi dan inovasi di kelas tersebut tidak penting? Apalah makna diskusi dan inovasi bila dilakukan dengan ketegangan dan keterpaksaan serta kepura-puraan? Senyuman adalah refleksi, pantulan dan cipratan dari cinta, dan diskusi dan inovasi yang dilakukan dengan cinta akan membuahkan diskusi dan inovasi yang luar biasa dan hebat. Waktu begitu cepat bagi pencinta, tidak ada pandangan ke arah jarum jam. Semua ingin berlama-lama di kelas diskusi dan inovasi. Kebersamaan dengan guru adalah sesuatu yang seru dan mengasyikkan.  Inilah kelas cinta. Inilah kelas kemanusiaan. Inilah sekolah yang membebaskan. Inilah belajar yang memerdekakan. Berapa banyak sekolah cinta seperti ini di sekitar kita Pak Menteri?!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun