Mohon tunggu...
Syarif Thoyibi
Syarif Thoyibi Mohon Tunggu... Belajar Berdamai dengan Kenyataan -

Blogger, Writer http://syarifthoyibi.blogspot.co.id/ https://twitter.com/thoyibig

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mudik Mas Bro

10 Juni 2018   13:42 Diperbarui: 10 Juni 2018   13:52 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beruntung pernah merasakan atmosfer mudik! Di penghujung dekade 90an dan awal  2000an.  Ada rasa yg tak bisa digambarkan dan aura yg tak terlukiskan menyelimuti segenap peserta mudik. Sketsa kampung halaman tergambar jelas pada tumpukan tas dan kardus. Bayangan keluarga dan handai taulan menelan semua kesulitan dan tantangan mudik. Berebut tiket moda transportasi, cuaca panas, bawaan yang berat menjadi semacam pelengkap derita yang dimaknai bahagia!

Macet menjadi semacam ritual yang harus dialami peserta mudik! Perjalanan mudik yang lancar-lancar saja ya sepertinya akan mengurangi sakralitas mudik! Macet sejam dua jam yang mungkin dapatlah kita masukan sebagai rukun mudik!

Filosofisnya mudik itu mengingat awal. Mengingat kembali tempat dan siapa yang melahirkan kita. Eksistensi kita ditempat sekarang mustahil tanpa kontribusi tempat dulu kita tumbuh dan berkembang. Kehadiran kita kini tidak lepas dari orang tua yang melahirkan, membesarkan, dan mendidik kita! Keluarga besar kiat yang ikut membentuk  sehingga kita dapat sampai pada posisi dan kondisi seperti kini. Kita tumbuh dan berkembang bukan di ruang vakum! Sebuah arogansi yang nyata manakal kita berkata bahwa kita kini hanya karena kita semata!

Sejatinya mudik itu spirit. Semestinya mudik itu immateri!Maka menjadi kontradiktif manakala mudik menjadi sesuatu yang membenda, memateri. Seperti Idul Fitri yang seolah meninggalkan fitrahnya yang spiritual menjadi sesuatu yang artifisial....baju baru, THR, kue, kembang api dan lain-lain. Mudik itu hakikatnya untuk menampakan hati, membuktikan bahwa hati ini belum berpaling dari asal kita! Mudik itu bukan ingin katempo (terlihat) dan karasa (terasa)...mudik itu melihat dan merasakan...mudik itu bukan untuk memperlihatkan keakuan kita tapi untuk membuktikan kemerekaan kita!

Dalam konteks yang lebih dalam filosofi mudik adalah sebuah kosakata yang menggebrak eksistensi diri. Kembali bertanya tentang kita. Siapa kita, siapa pencipta kita, untuk apa kita dan akan kemana kita!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun