Mohon tunggu...
Syarifah S.S Alaydrus
Syarifah S.S Alaydrus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Malang

Menyukai berita menarik dan informatif

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Merosotnya Kebebasan Pers di Indonesia

19 Mei 2022   13:15 Diperbarui: 19 Mei 2022   13:18 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kebebasan Pers menjadi salah satu kepentingan yang perlu di perhatikan dalam kemajuan Indonesia, begitu pendapat dari Presiden Joko Widodo. Namun, hal tersebut masih bertolakbelakang dengan realita yang ada saat ini. Hal ini dibuktikan dari penurunan peringkat Indonesia dari peringkat 113 menjadi 117 dalam kategori Indeks Kebebasan Pers Dunia 2022 oleh Reporters Without Borders.

Peringkat Indonesia yang rendah ini sejalan dengan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang marak terjadi saat ini. Selain itu, saat memasuki masa pandemi kemarin jurnalis banyak mendapat kecaman dalam meliput berita seputar Covid 19 dari Netizen Indonesia. Banyak tanggapan positif maupun negatif dalam pemberitaan tersebut. Sebagian berpendapat, para jurnalis ini terlalu mengkritiki pemerintah yang tengah fokus dalam mengurusi negara ditengah kecaman situasi pandemi karena isi/konten berita yang dimuat condong menyudutkan pemerintah pada situasi genting tersebut. Kemudian sebagaian diantaranya meng-support dalam hal kelancaran informasi yang mereka dapat ditengah pembatasan untuk bertemu dengan orang banyak. Bahkan tidak terpungkiri akibat situasi pandemi kemarin, banyak sekali jurnalis yang di-PHK hingga terjadi pemotongan gaji sekitar 20-30 persen gaji mereka.

Kecaman yang dihadapi oleh seorang Jurnalis dalam meliput suatu berita memiliki tantangan hukum dengan adanya UU ITE yang sangat rawan digunakan dalam mempidanakan jurnalis terhadap berita mereka dipublis. Menurut Direktur Jenderal UNESCO, Audery Azouly, pesatnya kemajuan teknologi tidak hanya berpengaruh dalam kecepatan penerimaan informasi. Namun, hal tersebut juga memberikan dampak pada pekerja media yang mana sangat mudah mendapat penolakan hingga serangan dari para pembacanya.  

Pembahasan topik yang sensitive oleh jurnalis sangat mudah untuk mengundang perhatian penuh oleh masyarakat semisal, mengenai LGBT, seseorang murtad dari Islam, hingga pernikahan dini. Topik-topik tersebut masih menjadi tabu dalam kalangan masyarakat sehingga bila terjadi kesalahan penafsiran saja akan mengundang hujatan hingga trending topik terutama pada generasi Z. Kasus kekerasan yang nyata terjadi bisa di lihat pada dua tahun yang lalu, saat aksi penolakan mahasiswa terhadap UU Cipta Kerja, dimana keberadaan jurnalis sangat rawan dalam memberitakan suasana aksi demo tersebut. Kemudian kasus demonstrasi Hari Buru Internasional 2019 yang berakhir bentrok di Bandung saat itu. Seorang Jurnalis yang bertugas dalam peliputan berita tersebut mendapat ancaman hingga menerima paksaan untuk menghapus foto hasil peliputan mereka.

Posisi jurnalis sangat terancam ketika meliputi kekerasan yang terjadi antara para demostran dengan apparat yang sedang menjalankan tugasnya. Padahal jurnalis ketika meliput suatu berita, hal tersebut merupakan hak mutlak yang ia miliki dalam menjalankan tugas dari propesi yang ia pegang. Tahun 2020 menjadi tahun terbanyak jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam 10 tahun terakhir dari data Divisi Advokasi AJI (Aliansi Jurnalis Independen) yaitu sebanyak 84 kasus.  Sementara tahun 2022 ini periode Januri hingga April sudah terkonfirmasi 12 kasus.

Kasus kekerasan yang dialami oleh Jurnalis sangat perlu diperhatikan dan ditindaklajuti lebih dalam oleh pemerintah karena dengan melemahnya posisi jurnalis dalam meliput suatu berita, dapat menandakan rendahnya tingkat kesadaran terhadap kondisi yang penting untuk diketahui oleh masyarakat misalnya seperti kebijakan pemerintah, elite politik hingga pengusaha. Sebab akar dari munculnya tindak kekerasan yang biasa dialami oleh jurnalis adalah peliputan berita yang bersifat kritis dan pihak yang dikritisi tidak menerima akan pemaparan tersebut. Padahal sebagai negara demokratis, Indonesia harus siap menerima semua kritikan maupun masukan dari rakyatnya sehingga dapat memunculkan suatu kebijakan yang dapat menyejahterakan masyarakatnya.

Kekerasan yang sering dialami oleh jurnalis sangat beragam, seperti mendapati terror hingga intimidasi, menerima kekerasan fisik, pelanggaran liputan, kemudian ada yang berupa ancaman, penuntutan pidana, hingga terjadi doxing atau penyebaran indentitas pribadi dari jurnalis yang memudahkan untuk terjadi  kejahatan digital yang dapat berupa hujatan atau hal kejahatan lainnya.

Semua tindakan pencegahan kekerasan terhadap Jurnalis sudah banyak disosialisasikan mengenai UU Pers akan hak dari seorang Jurnalis oleh badan-badan terkait seperti AJI, Komite Keselamatan Jurnalis, LBH Pers, hingga Dewan Pers yang telah menerbitkan surat Kerjasama (MoU) dengan pihak Polri agar tidak menghalangi tugas dari profesi seorang Jurnalis. Namun, semua itu balik lagi ke cara kerja dalam menegakkan isi dari kerjasama dengan Dewan Pers. Untuk itu, sangat dibutuhkan komitmen antara semua pihak yang melakukan kerjsama sehingga dapat meyebarkan pemahaman yang seragam kepada seluruh masyarakat Indonesia atas keseriusan masalah yang dihadapi oleh para jurnalis, sebab jurnalis menjadi kunci dari penyambungannya informasi yang tidak banyak diketahui oleh masyakat sehingga wajib dilindungi keberadaannya.

Oleh : Syarifah Salma Salsabila Alaydrus, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun