Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penyintas Korupsi dan Protokol Akal Sehat

18 September 2021   19:40 Diperbarui: 21 September 2021   09:02 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika korupsi dianggap sebagai penyakit atau sesuatu yang secara aktif menyerang dan ada ketidak berdayaan pada seseorang untuk melawan, maka yang tepat disebut sebagai penyintas adalah orang yang terpapar dan kemudian kembali sehat tidak melakukan korupsi. 

Seperti seorang penyintas covid-19, mereka adalah orang yang telah berusaha menghindari covid, namun tetap saja covid mampu menjangkiti dirinya, dan beruntungnya, dia berhasil melalui masa kritis derita itu.

Dengan menyebut mantan pelaku korupsi sebagai penyintas, maka kita telah menempatkan korupsi semacam "pendemi". Sesuatu yang berasal dari luar diri manusia, dan kemudian menjangkiti manusia yang tidak menerapkan protokol akal sehatnya dalam berperilaku. Tentu kita tidak bersepaham demikian.

Wacana ini segera pupus. Gerakan kritik dan kecaman meluas. Tentu ini situasi yang bagus. Artinya sebagian besar dari kita masih memiliki pikiran yang waras. Meski pikiran waras kadang tidak cukup. Butuh keberanian. Jika wacana penyebutan penyintas korupsi ini tidak direspon keras, saya hawatir akan benar-benar disebar luaskan.

Penyebutan penyintas ini jika ditelisik secara kritis, tentu akan melahirkan pikiran negative. Pertanyaan pertama, mengapa istilah itu muncul? Kedua, mengapa orang yang pertama memunculkan ke public adalah orang yang justru memiliki tugas dan kewenangan untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan perilaku korup?

Pertama, kemunculan istilah dimungkinan karena dua hal. Pertama, fenomena ini menunjukkan bahwa ada upaya sistematis untuk tidak terlalu menyalahkan para koruptor. 

Ujungnya agar masyarakat mudah memaklumi dan memaafkan para pelaku yang "terlanjur" terjerumus korupsi. Kedua, korupsi hendak ditempatkan sebagai sebuah penyakit yang datang dari luar diri manusia. Sehingga kita perlu berempati kepada para pelaku yang akhirnya "terpaksa" korupsi. 

Tentu ini adalah upaya pengalihan kesalahan dan pertanggungjawaban agar tidak sepenuhnya dibebankan kepada pelaku, tetapi kepada korupsi itu sendiri. Dua kemungkinan itu sama-sama buruk. Kita digiring untuk tidak sensitive kepada keburukan perilaku korup.

Kedua, mengapa justru istilah ini muncul dari dari seorang Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK? Kita bisa berpikir positif di sini. Barangkali yang bersangkutan melihat bahwa para mantan pelaku korupsi berhak untuk pulih dan kembali menjadi orang baik. 

Perilaku koruptif yang pernah dilakukan dianggap sebagai pepengalaman buruk yang di masa depan harus dihindari oleh dirinya dan oleh masyarakat. 

Dengan menggunakan istilah penyintas, diharapankan mampu mendorong para mantan pelaku korupsi itu "melepaskan" diri dari penyakit tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun